Marketing 3.0 Pariwisata Indonesia

Kontan 10 April 2014.Hal.23

Oleh Dewa Gde Satrya, Dosen Bisnis Pariwisata Universitas Ciputra

 

Buku menarik telah hadir di tengah pembaca. Judulnya Tourism Marketing 3.0, ditulis oleh Hermawan Kartajaya dan Sapta Nirwandar (Gramedia Pustaka Utama, 2013).

Kedua tokoh marketing ini telah lama mengenalkan konsep Marketing 3.0 dalam ranah turisme. Hermawan yang dikenal sebagai tokoh marketing asal Indonesia, dengan persetujuan keluarga Puri Saren Ubud, telah meluncurkan Museum Marketing 3.0 di Ubud bersama Philip Kotler.

Sebelumnya, dikenal era 2.0, ciri khas era 2.0 adalah peer to peer, open store, dan interaktif. Pendekatan pemasaran konvensional, seperti 4P (product, price, place, promotions) tidak memadai lagi. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang lebih relevan dan dekat dengan pasar, misalnya memanfaatkan blogs, social media dan komunitas / mailing list. Dengan sendirinya, marketer 2.0 adalah mereka yang familiar dengan gadget dan teknologi mutakhir, punya keterlibatan dalam komunitas online, mobile phone, open mind dan meng-update dirinya dengan berbagai hal baru.

Dalam konteks pariwisata, pemasaran 2.0 ini selaras dengan tantangan jaman dan kebutuhan di era digital. Media promosi pariwisata seperti familiarization trip, road show, iklan, dan reguler event diperkuat dengan media atau alat promosi virtual ala pemasaran 2.0 ini. Dirasakan, target pasar saat ini lebih efektif untuk didekati secara langsung, ketimbang melalui media perantara lain. Falsafah pemasaran 2.0 ini lebih memperhatikan relasi langsung dan kedekatan personal atau komunitas.

Singapore Tourism Board (STB) telah mempraktekkannya melalui market educational tourism-nya. Di berbagai institusi pendidikan SMA, misalnya, kian marak didatangi perguruan tinggi Singapura dengan jasa STB.

Logikanya, melalui marketing 2.0, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, semakin mendekatkan pariwisata Indonesia dengan pasar wisatawan mancanegara. Selanjutnya diharapkan ada kunjungan wisatawan yang meningkat secara konsisten.

Marketing 2.0 dan 3.0 sama-sama melihat dunia berubah dengan sangat cepat, dan kini hidup di era yang berbeda. Era di mana horisontalisasi terjadi di mana-mana dengan teknologi sebagai motor utamanya. Kemudian, penerapannya yang secara horizontal itu pun masuk ke ranah bisnis dan menjadikan hubungan perusahaan dan pelanggan tak lagi sama. Perubahan terjadi di sisi teknologi, peraturan-peraturan politik, perekonomian, sosial-budaya sampai pada perubahan pasar itu sendiri.

 

Kecemasan dan keinginan

Perubahan teknologi dirangsang oleh pertumbuhan konektivitas yang sangat cepat antara people to people, machine to machine dan business to business yang ditandai dengan data-focused development, dan smart technology. Perubahan peraturan-peraturan politik yang diawali tumbangnya rezim orde baru serta ditandai pula dengan demokratisasi, desentralisasi, dan diversifikasi, turut merangsang penerapan teknologi tersebut.

Marketing 3.0 melihat manusia sebagai pribadi yang utuh untuk memenuhi aspek anxiety dan desire. Marketing 3.0 dibutuhkan untuk mengembangkan dunia pariwisata yang saat ini tidak hanya fokus kepada product oriented dan customer oriented namun telah sampai di level tertinggi yaitu human spirit. Maksudnya, marketing 3.0 melihat manusia sebagai pribadi yang utuh dan pemenuhan akan kecemasan (anxiety) dan keinginan (desire) setiap manusia harus menyentuh sisi human spirit.

Karena itu, marketing pariwisata 3.0 bercirikan ketertarikan khusus dari setiap pribadi terhadap hal-hal yang mampu menjawab kecemasan (anxiety) dan keinginan (desire) sehingga bersifat personal. Tourism 3.0 merupakan pariwisata yang mengikuti ketertarikan pribadi (special interest tourism), di mana ketertarikan setiap pribadi untuk mengaktualisasikan diri serta mampu terlibat langsung dalam pencarian nilai-nilai jati diri. Jumlah kunjungan dan frekuensi kedatangan dari jenis tourism ini adalah yang paling kecil di antara tipe tourism lainnya, namun memiliki rata-rata pengeluaran per kepala. Dan hal terpenting adalah tourism di level ini adalah turis akan senantiasa mengadvokasi orang-orang di sekitarnya, bahkan para manusia di belahan dunia lainnya untuk mengunjungi objek destinasi yang sangat berkesan baginya.

Dalam pemasaran pariwisata 3.0, produsen membedakan diri dengan kompetitor melalui nilai-nilai yang dianutnya. Dalam kondisi dunia yang semakin bergejolak, diferensiasi seperti ini bisa menjadi sangat kuat. Keterkaitannya dengan perubahan ekonomi di mana saat ini Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke-15 di dunia adalah, diferensiasi yang tepat. Turis akan memiliki kesediaan membayar yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

Kisah sukses penerapan pemasaran 3.0 pariwisata Indonesia tercermin pada destinasi Ubud. Ubud semakin dikenal ketika para pelukis kenamaan dunia tinggal di sana. Di antaranya, Walter Spies (Jerman), Rudolf Bonnet (Belanda), Antonio Blanco (Italia), dan Aris Smith (Amerika Serikat).

Pada Oktober 2009, Ubud juga menjadi setting pembuatan film Eat, Pray, Love yang dimainkan oleh megabintang Hollywood, Julia Roberts dan Javier Bardem. Film yang diangkat dari kisah nyata (memoar) Elizabeth Gilbert yang terjual lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia dan mendapat penghargaan New York Times sebagai best seller.

Pemuatan di sebuah film merupakan alat promosi gratis bagi pariwisata Ubud khususnya dan Indonesia pada umumnya. Film sebagai industri kreatif yang berperan mengangkat suatu tempat (desa, kota, atau negara) sebagai latarbelakang sebuah cerita menjadi alat promosi yang efektif untuk berbagai misi, khususnya misi kebudayaan dan pariwisata.

Penerapan filosofi Tri Hita Karana dan Taksu dalam keseharian warga Ubud menjadi inspirasi pembangunan yang tidak hanya berorientasi profit, melainkan juga penciptaan nilai positif bagi manusia, lingkungan hidup dan budaya setempat. Saatnya menerapkan pemasaran 3.0 dalam pariwisata Indonesia.

Sumber: Kontan-10-April-2014.Hal_.23

Kepo Cukup di Sosmed

Jawa Pos.30 April 2014.Hal.4

SUATU ketika saya bertanya kepada anak saya yang duduk di kelas 3 SD mengenai hasil nilai ulangannya. Dia menjawab, “Ah, kepo Papa ini,” lalu tertawa. Kepo yang berarti pengin tahu banget tersebut ternyata tidak satu atau dua kali saya dengar. Setiap kali saya bertanya, jawabannya selalu kepo. Memang kata kepo terdengar lucu dan modern. Tapi, jika diucapkan berkali-kali saya merasa bahwa tutur katanya mulai tidak sopan dan menjengkelkan. Unggah-ungguh antara anak ke orang tua mulai terpinggirkan.

Wabah kepo ini tidak hanya melanda anak-anak dan remaja, bahkan sampai orang dewasa. Jika ditinjau dari kebahasaan dalam komunikasi, kita dituntut berbahasa secara benar dan tepat namun sopan. Tujuannya agar persepsi penerima pesan tidak negatif terhadap kita. Jadi, sebaiknya kata kepo tidak digunakan pada saat berkomunikasi secara lisan (tatap muka), tetapi cukup dalam bentuk tulisan seperti di sosial media (sosmed) yang sifatnya percakapan tidak penuh atau lepas.

Penulis : Raden Panji, staf Perpustakaan Universitas Ciputra (panji@ciputra.ac.id)

 

Sumber : Jawa-Pos.30-April-2014.Hal.4

 

Eksplorasi Kemampuan Bisnis Banyak Mafaat

Golf Community Magazine.Volume 44 April 2014.Hal.114

Pascasarjana Universitas Ciputratelah membuktikan banyak diminati oleh mereka yang baru saja memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S-1) untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang dilakukan Rizky Martha Riyandhani yang memilih Corporate Entrepreneurship untuk memperdalam ilmu bisnis.

Rizky mengakui, memang baru saja menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Surabaya, dengan mengambil Jurusan Akutansi tahun 2013 lalu. Setelah lulus S-1, pada tahun itu pula ia memilih melanjutkan studi Sarjana Strata dua (S-2) di Pascasarjana Universitas Ciputra.

Alasan memilih Ciputra, karena ia mengetahui perguruan tinggi swasta ini akan banyak memberikan manfaat untuk memperdalam ilmu bisnis. Apa lagi saat ini ia sedang terlibat di perusahaan trading oil milik orang tuanya di Jakarta.

“Apa yang saya ketahui dari Pascasarjana Ciputra ternyata tidak salah. Dan setelah mengikuti perkuliahan saya memperoleh banyak ilmu yang saya inginkan,” jelas wanita kelahiran Tuban, 14 Maret 1989 ini.

Dengan materi perkuliahan yang lebih banyak melakukan praktek ketimbang teori yang diberikan Pascasarjana Universitas Ciputra, ia banyak memperoleh ilmu bisnis yang bermanfaat yang sangat membantu untuk dapat diterapkan di perusahaan milik orang tuanya. Melalui diskusi di perkuliahan S-2 dan kesempatan menghadapi Real Kasus Bisnis di perusahaan secara langsung. Ia menemukan poin-poin penting yang bisa diadopsi untuk menjalankan perusahaan.

“Dengan melakukan sharing dengan teman yang sudah mempunyai pengalaman dalam menjalankan perusahaan saya mendapatkan ilmu baru. Kemudian pula dengan mentor saya juga dapat solusi apabila menghadapi kendala dalam menjalankan perusahaan,” Jelas Rizky.

Sebagai mahasiswi yang masih fresh graduate waktu pertama kali mengikuti perkuliahan di Pascasarjana Universitas Ciputra, Rizky memang sempat kaget. Karena waktu menempuh kuliah S-1 dulu ia lebih banyak menerima teori ketimbang praktek. Sebaliknya saat ini lebih banyak melakukan praktek dan bertukar pikiran dengan dosen dan teman-teman di Pascasarjana Ciputra. Akhirnya sedikit demi sedikit ia dapat menyesuaikan dengan perkuliahan di Pascasarjana Ciputra.

“Selain itu juga melalui perkuliahan kelompok banyak manfaat yang dapat diperoleh. Karena setiap melakukan perkuliahan kelompok, anggota kelompoknya bisa berbeda-beda. Justru dengan sering melakukan diskusi dengan teman-teman yang berbeda akan memperoleh banyak solusi yang tepat apabila menghadapi suatu kasus dalam perusahaan,” jelasnya.

Selain itu di perkuliahan Pascasarjana Ciputra, menurut pengakuan Rizky, dia juga memperoleh ilmu seperti bagaimana trik melakukan pengembangan pasar dan bagaimana solusi apabila mengalami kesulitan dalam pengembangan pasar. Poin-poin ini yang sangat bermanfaat buat ia, karena di perusahaan orang tuanya ia mendapatkan tugas melakukan pengembangan pasar ke berbagai kota di Indonesia.

“Ilmu seperti ini sangat tepat dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan saat ini. Sehingga memungkinkan untuk saya terapkan dalam tugas pekerjaan yang saya hadapi saat ini. Dimana saat ini saya sedang mendapat tugas melakukan pengembangan pasar di Surabaya,” tambahnya.

Sumber : Golf-Community-Magazine.Volume-44-April-2014.Hal_.114