Sehat dan Berdaulat dengan Pangan Lokal

Pelaku usaha perlu lebih kreatif mengolah aneka tepung lokal sehingga bisa diterima semua kalangan, terutama generasi muda. Bahan-bahan lokal seperti sagu masih melimpah.

Pisang rebus, keladi, singkong, dan ubi jalar di sajikan dalam satu piring. Sementara sagu pepeda di kuali. Di piring terpisah, disajikan urap kacang panjang dengan tauge dan suwiran cakalang asap yang disebut pokohu. Ikan bubara yang dimasak kuning panas menjadi pelengkap kuahnya.

Itulah menu sehari-hari yang disajikan warung makan kecil Eirene di Jalan Putuhea, Kota Ambon, Maluku. Tiga peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Isabella Apriyana, Gludug Ariyo Purnomo, dan Herawati Sudyoyo, awalnya ragu untuk mencicipi paduan ikan dengan pisang dan umbi-umbian itu. Maklum, sebagai orang yang tinggal di Jawa, mereka terbiasa dengan nasi. Bagi orang Jawa, pisang atau umbi-umbian hanya menjadi camilan dan tidak dicampur sayur atau ikan.

Namun, begitu mencicipi menu lokal Ambon, mereka pun ketagihan. Hampir tiap hari, selama di Ambon dalam rangka survei genetika, orang-orang Jawa ini selalu makan siang di warung yang ditemukan tak sengaja. Sebelumnya, mereka selalu dibawa Erwin, sopir sewaan, ke restoran dengan menu nasi. “Ini menu kampung. Sekarang tak banyak lagi karena kalau di kota orang maunya makan nasi. Biasanya tamu juga mintanya ke restoran,” kata Erwin.

Mencari menu makanan lokal, terutama yang menyajikan non-nasi di daerah-daerah memang kini tak mudah lagi. Beras yang semakin mendominasi membuat aneka makanan lokal tergusur. Bahkan, di Kota Ambon yang sebagian warganya masih makan sagu dan umbi-umbian lebih mudah mencari restoran siap saji waralaba internasional daripada mencari warung makan seperti Eirene.

Padahal, sajian menu tradisional ini, selain lezat, juga menunjukkan gizi yang seimbang. Sagu dan umbi-umbian yang minim protein dipadukan dengan ikan laut segar.

Selain di Eirene, kita juga bisa mencicipi menu lokal di rumah makan Arika di kawasan Soabali, Kota Ambon. Aneka, aroma rempah menyembur dari dalam mangkuk berisi kuah panas serta potongan ikan atau ikang kuah menurut sebutan masyarakat Maluku. Ikang kuah adalah pasangan serasi papeda, makanan lokan berbahan dasar tepung sagu yang diaduk dengan air panas.

Sebelum menuangkan papeda ke piring, terlebih dahulu menyiram kuah ikan. Penganan bertekstur lengket dan rasa tawar itu kemudian dituangkan ke dalam piring. Mulailah mengisap papeda langsung dari piring tanpa menggunakan sendok.

Pengunjung rumah makan Arika, pada Sabtu (24/2) begitu menikmati sensasi papeda dengan ikang kuah. Sekali tarikan napas, mereka bisa menyedot hampir separuh papeda yang ada di dalam piring. Setelah papeda melewati tenggorokan selanjutnya giliran kuah dan ikan.

Rumah makan itu menyediakan menu makan lokal. Selain papeda, ada ubi kayu, ubi jalar, pisang, dan talas yang biasanya dimakan bersama ikan bakar.

“Kami ingin tampil beda dari rumah makan yang lain. Ternyata, makanan lokal diminati,” kata Hasyim Lewenussa, pemilik rumah makan Arika.

Rumah makan tersebut merupakan rumah makan dengan menu lokal yang paling banyak di kunjungi pelanggan. Sejak dibuka sekitar pukul 08.00 WIT hingga pukul 16.00 WIT, Hasyim meraup pemasukan rata-rata Rp. 4 juta. Di pusat Kota Ambon, rumah makan dengan menu lokal tak lebih dari lima tempat. Rumah makan Arika pertama kali beroperasi tahun 2005.

Menu sehat

Khusus menu papeda tersedia di banyak rumah makan terutama yang juga menyediakan ikan. Namun, papeda bukan menjadi menu utama. Ubi kayu, talas, ubi jalar, dan pisang juga tak tersedia. Rumah makan semacam itu lebih mengandalkan nasi.

Selain kesukaan akan makanan lokal, pilihan tersebut juga didorong tuntutan kesehatan diri. Banyak orang yang menderita diabetes memilih makan papeda ketimbang nasi yang berkadar gula tinggi. “Papeda itu netral dan tanpa penyakit,” ujar Ateng, salah satu pengunjung.

Kebiasaan makan makanan lokal seperti sagu lempang masih terlihat di sejumlah rumah seperti di Karang Panjang. Bambe Rehata (77), warga, setiap pagi mengonsumsi sagu lempeng. Sebelum dikunyah, sagu dicelupkan ke dalam teh panas. “Sagu dan nasi itu beda. Makan sagu, tubuh kita lebih kuat,” ujarnya.

Animo konsumsi pangan lokal memang masih dijumpai di Ambon. Namun, seperti di daerah lain, pola makan masyarakat mulai berubah karena beralih ke beras. Kebijakan pemerintah untuk pengembangan pangan lokal di Maluku seperti sagu pun tidak berjalan.

Data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian untuk tahun survei tahun 2009-2013 menunjukkan, porsi konsumsi beras warga Maluku mencapai 50,78 persen dari total asupan pangan sehari-hari. Angka ini memang cukup rendah, menempati peringkat ke-31 dari 33 provinsi yang disurvei. Dua provinsi yang lebih rendah konsumsi berasnya adalah Maluku Utara, mencapai 48,20 persen dan Papua 35,61 persen. Sebagai perbandingan, yang tertinggi ialah Nusa Tenggara Barat yang porsinya mencapai 72,08 persen.

Jika dibandingkan konsumsi umbi-umbian, porsi beras di Maluku, Maluku Utara, ataupun Papua tetap masih lebih tinggi. Konsumsi umbi-umbian di maluku 12,69 persen dari total porsi makan mereka, Maluku Utara 9,23 persen, dan Papua 30,39 persen.

Pergeseran selera

Kepala Departemen S-1 dan S-2 Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Saptarining Wulan mengatakan, salah satu penyebab tergesernya pangan lokal oleh beras ataupun terigu karena pengembangan olahannya mandek.

“Selama ini banyak orang tahunya sagu hanya papeda sehingga tidak semua orang bisa memakannya,” katanya.

Saptarining mengajak para pelaku usaha untuk kreatif mengolah aneka tepung lokal sehingga bisa diterima di semua kalangan, terutama kalangan generasi muda, yang selera makannya terlanjur dibentuk oleh citra iklan aneka bahan makanan olahan dari luar.

Menurut Saptarining, Kampusnya kini menjalin kerja sama dengan para bupati di daerah penghasil sagu  agar mengirim anak-anak muda untuk belajar mengolah sagu dengan sentuhan baru. “Bahan-bahan lokal, khususnya sagu, masih berlimpah dan harganya murah. Tinggal bagaimana mengolahnya,” kata Saptarining yang juga Ketua Bidang Organisasi dan Profesi Masyarakat Sagu Indonesia (Massi0 ini. (FRN/AIK)

 

Pola Konsumsi Pangan (% AKG Per Provinsi Tahun 2009-2013)

10 Provinsi yang paling banyak mengonsumsi padi-padian

Nusa tenggara Barat                                       72,08

Nusa Tenggara Timur                                     70,58

Jawa Barat                                                          68,01

Sulawesi Barat                                                   67,92

Bali                                                                         66,13

Sulawesi Selatan                                              65,76

Sulawesi Tenggara                                           65,09

Banten                                                                 65,04

Jawa Tengah                                                      64,70

Kalimantan Barat                                              64,04

 

10 provinsi yang paling banyak mengonsumsi umbi-umbian

Papua                                                                   30,39

Maluku                                                                 12,69

Papua Barat                                                        9,94

Maluku Utara                                                    9,23

Sulawesi Tengah                                              5,10

Sulawesi Tenggara                                           4,47

Nusa Tenggara Timur                                     3,00

Sulawesi Utara                                                  2,53

Jawa Timur                                                         2,28

Lampung                                                             2,27

 

10 Provinsi yang paling banyak mengonsumsi pangan hewani

DKI Jakarta                                                          15,06

Kalimantan Timur                                             13,81

Kepulauan Riau                                                                 13,39

Kalimantan Tengah                                         11,47

Bangka Belitung                                                11,47

Riau                                                                       10,98

Kalimantan Selatan                                         10,61

Sulawesi Utara                                                  10,53

Papua Barat                                                        10,18

Kalimantan Barat                                              9,64

 

 

Sumber: Kompas.28-Februari-2018.Hal_.14

Kerumitan Benih dan Agroklimat Durian

Oleh F Rahardi (Pengamat Agribisnis)

Pada dekade 1990, Bernard Sadani membuka kebun durian belasan hektare di Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat. Dia menanam beragam durian unggul, terbanyak varietas montong dari Thailand, dengan benih dari penangkar di Bogor.

Dalam tiap hektare lahan, ditanam sekitar 100 benih durian, dengan jarak tanam 10 x 10 meter. Total, ia menanam hampir 2000 batang durian. Setelah panen, ia kecewa karena buah durian montong dari kebunnya itu lain dengan durian montong yang pernah ia lihat di Thailand.

Ia pun mengundang pakar durian dari Negeri Gajah Putih ke kebunnya. Menurut pakar tersebut, durian yang ditanam Bernard Sadani bukan montong, melainkan varietas kop. Tetapi ada satu dua batang durian yang benar-benar montong. Pakar durian itu menyarankan agar Bernard memotong durian kop tersebut setinggi 1,5 meter, lalu menyambungnya dengan entres durian montong yang satu dua ada di kebunnya.

Saran itu dijalankannya. Dua tahun kemudian , entres yang disambung di atas durian kop itu berbuah. Seluruhnya benar-benar montong.

Tapi masalah lain datang. Penyakit phytophthora menyerang pangkal batang, tepat pada sambungan. Benih durian yang dipasarkan di Indonesia umumnya merupakan sambungan okulasi, menggunakan mata tempel (kulit batang dengan satu mata tunas). Penyambungan dilakukan saat semaian benih asal biji itu baru umur satu sampai dua bulan, dengan tinggi kurang dari 30 sentimeter. Setelah benih tumbuh menjadi pohon, letak sambungan itu dekat sekali, bahkan seakan menempel pada tanah. Nah, phytophthora mudah menyerang melalui titik ini.

Bernard ingat, waktu ia berkunjung ke sentra durian di Provinsi Rayong, Thailand, ia melihat para petani menanam durian montong menggunakan benih sambung pucuk, setinggi 1,5 meter. Sambung pucuk menghasilkan batang pohon lebih mulus sibanding okulasi mata tempel. Penyambungan pada ketinggian 1,5 meter, juga menjauhkan titik sambungan dari permukaan tanah. Para petani Thailand juga selalu menggunakan batang bawah varietas kani yang berperakaran kuat dan tahan kekeringan. Di Indonesia, konsumen tak pernah tau jenis batang bawah yang digunakan oleh para penangkar. Umumnya para penangkar mengambil biji untuk batang bawah dari kios penjual durian.

Bernard Sadani pun kemudian membuka kebun durian baru di dekat kebun lamanya. Di kebun lamanya itu, Bernard punya satu pohon durian berukuran besar, tetapi buahnya kecil-kecil, bulat, berdaging buah tipis, dengan biji banyak dan besar-besar. Pohon durian itu sudah ada ketika ia membeli lahan tersebut. Durian inilah yang ia gunakan sebagai batang bawah untuk benih bagi kebun durian barunya. Sesuai saran pakar durian Thailand, ia tak menyemai biji durian itu, tetapi langsung menanamnya di lahan. Agar tak kepanasan di lahan tersebut ia juga menanam legum sebagai peneduh. Tak sampai dua tahun, benih benih durian asal biji yang sudah setinggi 1,5 meter tersebut.

Penanaman biji langsung di kebun akan mengurangi risiko stagnasi akibat pencabutan, pemindahan ke polybag, kemudian penanaman di lahan. Pertumbuhan biji yang langsung ditanam di lahan pun akan lebih cepat. Bernard Sadani puas, Durian di kebun barunya tumbuh dan berproduksi lebih baik dari pada montong di kebun lamanya.

Kebun lamanya memang lebih banyak menyajikan masalah. Selain montong, durian sunan yang ia datangkan dari Boyolali juga tak seperti yang ia harapkan. Produksi buahnya normal, tapi dagingnya tak pernah bisa masak sempurna. Selalu ada bagian yang tetap keras. Cacat ini merata pada semua buah dan semua pohon durian sunan di kebun lamanya.

Ia kembali konsultasi dengan pakar durian, kali ini pakar dalam negeri. Menurut si pakar, durian memerlukan penyerbukan silang.

Ketika pemerintah melalui Menteri Pertanian melepas durian sunan Boyolali sebagai varietas unggul nasional, mestinya juga sekalian dilepas durian penyerbuknya, yang sekalian bisa digunakan sebagai batang bawah. Kalau durian sunan ditanam berjauhan dengan durian penyerbuknya, hasil buahnya tak akan sama dengan di habitat aslinya.

Agroklimat sangat menentukan

Kebun Bernard di Cikalong Kulon, terletak pada 6,5 derajat lintang selatan. Sangat dekat dengan Katulistiwa yang beragroklimat sangat basah. Sementara sentra durian di Rayong, Thailand terletak pada 13 derajat lintang utara yang sudah relatif kering. Agroklimat sangat menentukan budidaya durian.

Faktor agroklimat ini sering dilupakan oleh pekebun durian. Hingga di kawasan Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur yang berelevasi 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl), ada yang menanam durian montong. Hasilnya, durian itu tumbuh kerdil dan tak pernah mau berbuah.

Selain menghendaki agroklimat relatif kering dengan air tanah cukup, montong hanya bisa tumbuh dan berproduksi baik pada elevasi di bawah 600 meter dpl. Lain dengan durian lokal yang masih mau tumbuh dan berproduksi baik pada elevasi 800 meter dpl.

Sebenarnya, habitat asli durian budidaya (Durio zibethinus) merupakan dataran rendah basah di sepanjang katulistiwa, yang beragroklimat basah dengan kelembaban udara sangat tinggi. Tapi montong yang sudah beradaptasi dengan kawasan kering di rayong, kemudian relatif peka dengan kelembaban udara tinggi. Itulah sebabnya benih yang disambung okulasi saat masih berumur satu sampai dua bulan, mudah terserang phytophthora.

“Demam” budidaya durian montong pada dekade 1990, hanya menyisakan beberapa kebun, termasuk kebun durian Bernard Sadani. Yang lain lenyap dihajar penyakit phtophthora, karena kesalahan memilih benih, dan lokasi lahan terkait dengan agroklimat.

 

 

Sumber: Kontan.5-11-Maret-2018.Hal_.23