Prudence Mak Dari Kain Perca sampai Galeri Desainer Muda

Dari Kain Perca Sampai Galeri Desainer Muda. Kompas. 13 Mei 2015.Hal.16

Penulis             : Agnes Rita Sulistyawaty

Prudence Mak menjalani masa kecil dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, di tengah aneka keterbatasan, dia justru menemukan bakat artistiknya. Kini, dia tidak hanya menjadi salah satu seniman “kain perca”, tetapi juga ikut menfasilitasi perkembangan desainer muda di Hongkong.

Galeri seluas 371 meter persegi di kompleks PMQ Hongkong menjadi etalase kesuksesan kerja panjang Prudence. Material bekas dijahit menjadi karya artistik yang indah, antara lain berupa sarung bantal dan kain alas piring makan.

Ada pula perkakas makan, tas, hingga casing ponsel yang digambari karakter Fatina yang menjadi ciri khas Chocolate Rain, perusahaan design yang didirikan Prudence sejak 15 tahun. “Saat ini, kami sudah dalam fase usaha yang stabil. Pembeli banyak yang datang,” kata Prudence.

Namun, kemapanan tidak membuat Prudence melupakan perjuangan di awal kariernya. Dia mendirikan Young Designer Hub yang, antara lain, berupa ruang di galerinya untuk memajang ratusan karya 20 desainer muda. Dalam 3-4 bulan, karya yang dipajang diganti dengan karya dari 20 desainer muda lainnya.

Sekali sebulan, Prudence menggelar pasar seni yang menjadi tempat bertemunya puluhan desainer muda dan pembeli. Dalam kegiatan ini, 35 merek ditampilkan.

Prudence memiliki sederet kegiatan sosial. Setahun, sedikitnya 30 kegiatan sosial dilakukan antara lain bagi anak –anak yang tidak mampu. Keterampilan yang diajarkannya terutama menjahit dan melukis.

Jiwa wirausaha

                Prudence mewarisi bakat artistik dari ibundanya. Bakat ini yang mendorong Prudence gigih memperjuangkan keinginannya melanjutkan studi bidang seni murni di Kanada.

“Ayah ingin saya mengambil jurusan yang umum seperti kedokteran atau kepolisian. Ayah menganggap, seni hanya membuat saya seperti ibu yang menjadi penjahit dengan upah 20 dollar Hongkong (sekitar Rp. 32.000) per hari. Karena mendapatkan tentangan yang kuat dari ayah, keinginan saya semakin dalam. Mirip kisah percintaan Romeo dan Juliet,” kata Prudence menganalogikan.

Meskipun harus kerja paruh waktu menjadi pembersih toilet demi membiayai sekolah, Prudence akhirnya merampungkan pendidikan di Kanada. Tidak hanya itu, dia kemudian meraih beasiswa penuh untuk gelar master di Central Saint Martins-University of the Arts London.

Bekal ilmu ini membuat Prudence mengasah jiwa wirausaha. Proses ini bukan tanpa sandungan. Tahun 2001, saat awal karier, apresiasi atas karya seni di Hongkong masih minim. Pembeli berpikir dua kali untuk mengeluarkan uang lebih demi karya seni.

Tantangan besar lain adalah menjamurnya peniruan aneka jenis barang. Kondisi ini membuat produk seni sulit bersaing dengan produk serupa yang telah diproduksi dengan mesin.

Ada juga orang yang meragukan kemampuan Prudence menghasilkan karya seni. “Pandangan miring ini yang membuat saya sejak awal memberikan pelatihan ketrampilan menjahit atau melukis untuk anak-anak. Sampai sekarang, saya punya kelas lokakarya menjahit dan melukis untuk pengunjung yang tertarik belajar,” ujarnya.

Setelah melewati 5 tahun pertama, Prudence mencoba membuka pasar di luar negeri. Dia tidak bosan mengulang kisah di balik tokoh Fatina, yang sebagian besar merepresentasikan perjalanan hidupnya. Cara ini membuat karya seninya bisa diterima masyarakat. Kisah di balik Fatina juga dibagikannya saat menjadi pembicara dalam Hongkong Gifts and Premium 2015, akhir April lalu.

Langkah ini tidak sia-sia. Produk yang selama ini tidak mendapatkan tempat di tanah kelahiran, justru disukai pembeli mancanegara, terutama Eropa.

Dari situ, tawaran untuk pameran dalam berbagai kegiatan mulai diterima Prudence. Pameran di luar negeri membuat karyanya semakin dikenal. Dia pun membuka beberapa gerai di luar negeri.

Meskipun sudah mendapatkan tempat di masyarakat, Prudence tidak tergoda untuk memproduksi massal setiap produk. Satu produk hanya diproduksi 200 buah. “Saya lebih suka membuat produk yang eksklusif dengan jumlah terbatas. Produksi massif hanya membuat barang jadi produk HKD 10 (sekitar Rp. 16.000) saja,” ujarnya.

Apabila produk laris karena disukai orang, Prudence memilih membuat produk serupa dengan desain baru yang segar.

Langkah ini, menurut Prudence, baik untuk usaha skala kecil menengah. Sebagai desainer, dia memilih untuk mempertahankan usaha pada skala kecil-menengah dengan tim kreatif 10 orang saja.

Dia mengakui, produksi skala besar hanya akan mematikan ide ktreatif. Produksi massal hanya mendorong orang berpikir soal pendapatan saja, bukan untuk menjaga ide kreatif agar tetap segar.

Peran keluarga

Jauh sebelum mengecap sekolah formal di bidang seni, Prudence mengasah bakat dari kesehariannya bersama sang ibu.

“Ibu saya bekerja sebagai penjahit. Karena harus mengasuh saya dan kakak, ibu membawa kami ke tempat kerja. Sejak kecil, saya akrab dengan kain perca yang berserakan di lantai,” katanya.

Dari kain perca ini,Prudence mendapatkan bahan untuk menghasilkan pakaian boneka. Boneka yang dimainkannya bukanlah boneka mahal, melainkan boneka bekas yang ditemukan kakeknya yang bekerja sebagai petugas kebersihan.

“Kadang kala saya membuat terlalu banyak pakaian boneka. Pakaian ini lantas saya bawa ke sekolah dan saya bagikan kepada teman-teman sekolah. Mereka senang dengan hasil kerja saya. Belakangan, saya menyadari bahwa kegembiraan ini yang tidak bisa dibeli dengan uang,” ujarnya.

Prudence masih memiliki mimpi. Dia ingin agar desainer muda di seluruh dunia memiliki jejaring, Jejaring ini diyakininya bisa membuat produk seni semakin mendapatkan tempat di masyarakat.

Prudence Mak

Lahir                      : 3 Juli (tahun dianggap sebagai data privat)

Jabatan                : Pendiri dan Direktur Artistik Chocolate Rain Design

Pendidikan         : Design Smart scholarship to Central Saint Martin’s London for MA Degree in Design  Studies

Beberapa penghargaan :

  • Ten Outstanding Designers Award, 2010
  • Salah satu peraih Hong Kong’s Ten Outstanding Young Persons, 2012
  • Peraih perak kategori Fashion di Hong Kong Designers Association (HKDA) Global Design Award, 2012
  • Peraih Hong Kong Best Award kategori HKDA Global Design Award, 2012
  • Peraih perunggu kategori Product, HKDA Global Design Award, 2012
  • Smart Gift Design, Hong Kong Trade Development Council, 2012
  • Young Women Innovator Award 2013 by APEC

Beberapa pameran dan kegiatan design :

  • Hong Kong Post Office, Valentine’s Day Promotion, 2012
  • Hong Kong Airport, Chocolate Rain Easter Promotion and do it yourself workshop, Hongkong, 2012
  • WWF and Chocolate Rain Ear

Sumber            : Kompas, Rabu, 13 Mei 2015

Ali Marsudi Arjuna Wayang Orang RRI Solo

Arjuna Wayang Orang RRI Solo. Kompas.2 Mei 2015.Hal.16

Penulis            : Erwin Edhi Prasetya

Sosok Arjuna seketika dirasakannya meresap dalam diri saat kaki mulai melangkah di atas panggung. Semangat hidupnya menyala-nyala. Inilah yang dirasakan Ali Marsudi (48), “Arjuna” Wayang Orang Radio Republik Indonesia Surakarta setiap kali pentas wayang orang.

                 Ali merupakan seniman wayang orang senior di kelompok Wayang Orang RRI Surakarta. Selain pemain, ia juga sutradara, dan aktif memotori geliat pertunjukan wayang orang di Solo. Hidupnya didedikasikan untuk wayang orang.

Ali mengaku meraskan gairah hidup yang sesungguhnya ketika pentas, entah memerankan Arjuna, Karna, Abimanyu, ataupun Kresna. “Ketika mulai manggung langsung merasa mantap dan kepercayaan diri naik. Ada kontemplasi kepada Sang Pencipta. Bagi saya itulah hidup yang sesungguhnya,” katanya.

Di jagat wayang orang, Ali lebih dikenal sebagai pemain alusan, karena ia spesialis pemeran Arjuma, tokoh wayang yang dikenal alus  (halus) ucapan dan perilakunya. Tapi, sesekali ia juga memerankan Kresna, Abimanyu, dan Karna.

Arjuna adalah tokoh wayang idola Ali. Dalam pewayangan, Arjuna merupakan sosok ksatria sempurna secara fisik, sakti, dan memiliki ilmu kebatinan yang paripurna. Karena itulah, ayah dua anak ini begitu menjiwai Arjuna. “Arjuna itu wong yang tanpa cacat. Kebetulan sering memerankan Arjuna dan rasanya paling pas memerankannya,” katanya.

Memerankan tokoh berbeda dirasakannya tetap memiliki daya tarik sendiri. Paling menantang ketika ia memerankan tokoh antagonis, seperti Karna. “Memerankan Kresna bisa lebih ekspresif. Tapi tokoh antagonis lebih asyik,” ujarnya.

Ali teguh bergelut dalam dunia wayang orang, bukan semata-mata untuk kepuasan batinnya, tetapi juga demi menjaga kelestarian dan eksistensi seni ini di masa depan. Untuk menjaga kesenian ini tetap hidup, menurut Ali, pentas wayang orang jarus rutin digelar dengan wadah pertunjukan apapun. Baginya akan lebih istimewa jika pentas wayang orang dibuat meriah, megah, dan melibatkan banyak pemain.

Pada November 2014 lalu, Ali memimpin rekan-rekannya di RRI Surakarta menggelar perhelatan akbar wayang orang bertajuk Wayang Orang Seribu Bintang (Wosbi) II. Wosbi II digelar setelah sukses menyelenggarakan Wosbi I 2011.

Ali menjadi ketua panitia ajang Wosbi II yang diikuti 18 sanggar atau kelompok wayang orang dari berbagai daerah. Gelaran Wosbi II di auditorium RRI Solo, ternyata sukses digelar. Ribuan penggemar berbondong menyaksikan pergelaran itu.

“Wosbi bukan semata pergelaran yang menampilkan banyak seniman dari berbagai sanggar seni. Wosbi diharapkan akan bisa mencetak ribuan bintang wayang orang berikutnya. Karena itulah dinamakan wayang orang seribu binatang,” tuturnya.

Untuk tujuan itu, Ali bertekad kembali menggelar Wosbi-Wosbi berikut bersama rekan-rekannya. Menjadikan Wosbi sebagai pemantik regenerasi pemain wayang orang. Cara ini dinilainya mulai membuahkan hasil. Buktinya, puluhan anak dan remaja dari sejumlah sanggar seni turut unjuk gigi bermain wayang orang.

Pergulatan hidup di dunia wayang orang ditapakinya serius selepas lulus dari Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta). Ia ikut tampil dalam pementasan kelompok wayang orang di Solo, diantaranya Wayang Orang Sriwedari.

Pada November 2000, Ali diangkat menjadi PNS di bawah Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dan di tugaskan di RRI Surakarta di bagian kesenian. Sejak itu, kiprahnya dalam aktivitas berkesenian wayang orang semakin mendalam. “Saya betul-betul aktif bermain wayang pada 2000 itu karena memang pekerjaan saya bermain wayang,” katanya.

Tahun 2012, Ali bergabung pada paguyuban seni wayang orang Sekar Budaya Nusantara yang dipimpin Nani Soedarsono. Di sekar Budaya Nusantara, ia sering didapuk memerankan sosok Arjuna. Ali merasa Sekar Budaya Nusantara telah membesarkannya.

Lebih kurang 50-an lakon wayang orang berbagai episode seperti Ramayana, Mahabaratha, dan Bharatayudha, telah diproduksi Sekar Budaya Nusantara untuk siaran TVRI. Ia terlibat aktif dalam setiap pementasan di setiap tahunnya hingga tahun 2010.

Kecintaan pada wayang orang mendorongnya mendirikan Sanggar Nareswari tahun 2002. Sanggar ini menjadi Griya Budaya Titah Nareswari tahun 2007 yang menguatkan kontribusinya pada dunia seni wayang orang. Tidak hanya wayang orang, Ali juga tampil rutin dalam pementasan ketoprak yang digelar di RRI Surakarta. Ali juga rutin diminta manggung bersama sanggar-sanggar wayang orang di luar Solo.

Sejak 2007, ia tergabung dalam tim sutradara di LPP RRI Surakarta, baik menyutradarai wayang orang maupun ketoprak. Pemerintah Kota Solo juga memberi kepercayaan kepadanya. Saat HUT Kota Solo 2014, Ali menyutradarai pergelaran wayang orang di jalanan “Solo Carnival” dengan lakon “Darmaning Satria”. Saat itu Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo turut tampil.

Ali mengatakan, wayang orang harus terus dikenalkan kepada generasi muda, sejak dari anak-anak untuk menjaga kelestarian seni tradisi ini. Selain pentingnya regenerasi pemain, penting pula regenerasi penonton. Tanpa penonton, wayang orang perlahan tapi pasti akan mati. “Untuk bisa tetap bertahan, wayang orang harus mendekat kepada publik,” ujarnya.

Guna mendekatkan wayang orang kepada masyarakat, bersama Kelompok Wayang Orang RRI, Ali menjadi ketua panitia menyelenggarakan kegiatan “Njajah Desa Milang Kori”. Ini merupakan kegiatan pentas wayang orang ke desa-desa. Pentas antara lain diadakan di Desa Kemuning, Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, dan Desa Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.

“Wayang itu tidak hanya tontonan tapi juga tuntunan. Ada pelajaran hidup yang bisa dipetik karena wayang adalah cermin kehidupan nyata. Wayang mencerminkan tentang peperangan, percintaan, konflik antara baik dan buruk,” katanya.

 

Ali Marsudi

Lahir                      : Blora, Jawa Tengah, 5 April 1967

Isrti                        : Hendawati (45)

Anak                      : Jlamprong Sujiwangga Widagdo (17)

Prajwalita Nareswari Titah Ramadhani (14)

Pendidikan         : –  1980 SD Negeri Tutup 1, Tunjungan, Blora, Jawa Tengah

  • 1983 SMP Adi Sucipto Blora, Jawa Tengah
  • 1986 SMA Negeri 1 Blora, Jawa Tengah
  • 1997 Jurusan Tari (S-1) STSI Surakarta – Jawa Tengah (ISI Surakarta). Mendapat penghargaan sebagai lulusan terbaik untuk jurusan Tari Tahun 1997

Pekerjaan`          : PNS bertugas di RRI Surakarta

Duta Seni             : –  Perancis – bersama Wayang Orang Indonesia Pusaka (2012)

  • Thailand – Ramayana Internasional Festival – bersama Sekar Budaya Nusantara (2011)
  • Singapura – bersama Puro Mangkunegaraan Surakarta (2011)
  • Australia – bersama Wayang Orang Indonesia Pusaka di Sydney Opera House, Australia (2010)
  • India – bersama Sekar Budaya Nusantara (2005)
  • Inggris – bersama Sunarno Purwalelana, Surakarta (2002)
  • Belanda – bersama Deddy Dance Company Jakarta (2001)

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 Mei 2015

Marcellus Chandra 36 Tahun RP 4,5 Triliun

36-TAHUN-RP-4,5-TRILIUN.housing-estate-eds-129.-XI.Mei.2015.pg-66

Marcellus Chandra, CEO PT Prioritas Land Indonesia (PLI), mengawali bisnis property di Uluwatu, Bali, bersama rekan sekolahnya, Victor Irawan, yang kini menjadi komisaris PLI. Di Pulau Dewata itu mereka mengembangkan 10 unit villa yang dijual secara presale. “Saat saya pasarkan tanahnya masih semak belukar,” kenangnya. Karena itu banyak calon konsumen yang datang ke lokasi mengurungkan niat membelinya. Tapi, ia tidak patah semangat. Berbagai terobosan dilakukan. Akhirnya  10 unit villa itu bisa sold out dalam enam bulan. “Dulu saya jual Rp 3 miliaran per unit, sekarang ditawar Rp 7 miliar nggak ada yang mau lepas,” ujarnya.

Sukses mengembangkan villa, Marcellus makin optimis dan kepincut membangun apartemen. Proyek pertamanya di lokasi favorit investor, Gading Serpong, Tangerang-Banten. Di atas lahan seluas 7.500 m2 ia membangun dua menara apartemen Majestic Point (839 unit). Sebagian lahannya dibeli putus, sebagian lagi menggunakan skim kerjasama. Untuk membangunnya? Selain dana internal perusahaan, ia menjual unit apartemen itu secara block sale kepada para investor. “Dengan lokasi yang strategis, harga khusus, dan deain bagus, banyak investor yang tertarik,” ungkapnya. Satu investor bisa membeli 1-3 lantai. Pembeli perorangan pun banyak. Mereka membeli secara tunai bertahap.

Penjualan Majestic Point lancer PLI mengembangkan proyek kedua, K2 Park juga di Gading Serpong. Skalanya empat kali lebih besar. Di atas lahan tiga hektar itu akan dibangun pusat belanja, empat menara apartemen (2.500 unit), satu menara hotel, dan satu menara pusat pendidikan. Skim pendanaannya mirip dengan Majestic Point. “Hanya pelaksanaan pembangunannyalebih rumit, karena ini proyek mixed use,” kata pria kelahiran Surabaya 36 tahun lalu ini.

Proyek ketiganya Indigo apartment berlokasi di Jl Narogong (Jl Siliwangi), kota Bekasi, Jawa Barat, sekitar satu kilometer dari pintu tol Bekasi Barat. Di lahan seluas 1,5 ha itu PLI mengembangkan tiga menara apartemen, satu menara hotel bintang empat, dan satu hotel bajet. Lulusan Civil Engineering dan Computer Science dari University of New South Wales, Sydney, Australia, ini menyebutkan, ketiga proyek dipasarkan dengan system block sale, tunai keras, dan tunai bertahap. “Kami tidak menggunakan pinjaman bank,” katanya. Jika semua proyek selesai dikerjakan, ia memperkirakan kapitalisasi pasarnya mencapai Rp4,5 triliun. Wow! Mudah-mudahan berjalan lancer.

Sumber : Housingstate – Sosok , Mei 2015

Teges Prita Soraya Sebuah Pernyataan Cinta

Sebuah-Pernyataan-Cinta.Dewi-eds-5.XXIV.Mei-2015.pg-154

Teges Prita Soraya

Setelah lama menekuni dunia public relation, kini ia menata banyak bandara di Jakarta

Sewaktu kecil ia tidak punya cita-cita. Tidak seperti anak-anak pada umumnya, ia tidak ingin menjadi presiden, perawat ataupun dokter.

“Saya baru punya cita-cita waktu SMA dan saya ingin bekerja di bidang public relation,” ujar Teges Prita Soraya, Chief Executive Officer Angkasa Pura Retail.

Pemicu cita-cita itu adalah pertemuannya dengan ibu seorang teman yang bekerja sebagai public relation atau kelak popular disebut PR, di sebuah hotel. Pekerjaan tersebut dianggapnya mengasyikkan.

Selepas SMA, Teges pun mencantumkan Jurusan Komunikasi Massa sebagai pilihan pertama dalam ujian masuk perguruan tinggi demi mewujudkan cita-citanya. Namun, ia tidak lulus. Ia malah diterima untuk pilihan keduanya, di Jurusan Sastra Cina, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Tidak banyak orang beruntung diterima di perguruan tinggi terkemuka. Persaingan sangat tinggi. Andaikata ia menolak, ibunya pasti marah. Alasan “takut ibu marah” mendorong Teges menjalani kuliah di kampus UI, meski hati dan pikirannya tetap tertuju ke dunia PR.

Jalan tengah pun diambil. Ia minta dibolehkan ikut kelas malam Public Relation di London School, Jakarta. Namun, ia akhirnya tiba pada suatu titik yang membuatnya tidak mampu berkompromi lagi. Teges memutuskan untuk meninggalkan Jurusan Sastra Cina agar lebih berkonsentrasi di kelas tersebut. Tidak hanya sibuk belajar, ia mulai mempraktikkan ilmunya dengan magang menjadi PR atau penerima tamu acara konferesnsi pers.

“PR-ing is just the beginning of my career,” katanya, seraya menyeruput secangkir kopi di pagi itu.

Setelah menyelesaikan kuliah, Teges bekerja sebagai PR Hard Rock Café. Ketika itu kafe belum semarak sekarang, belum menjadi bagian dari gaya hidup urban. Ia bangga, karena Hard Rock Café sangat tenar. Pengalaman bekerja di kafe ternyata memberinya kesempatan berharga untuk mengenal lebih dekat dengan dunia food and beverage yang menjadi babak baru dalam kariernya. Kelak Teges membuka restoran.

Apa ukuran sukses seorang PR? “Anda bisa mrnjual sesuatu tanpa orang sadar bahwa sebenarnya anda menjual sesuatu. And that’s the beauty of PR buat saya,” jawabnya.

Dari ruang lingkup korporat dan bisnis pribadi, ia melangkah ke Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Namun, sebagian orang yang menganggap perusahaan negara bersenyawa dengan dunia yang kaku, tidak seirama dengan gerak Teges yang lincah dan kepribadiaanya yang ceria. Ia tidak menampik, tetapi menjelaskan bahwa pekerjaanya sekarang merupakan gabungan dari semua ilmu serta pengalamannya terdahulu. Bagi yang mendengar, itu berarti ia mampu menjalaninya.

Dengan bergurau, ia melontarkan pernyataan telah “dijebak” oleh direktur Angkasa Pura 1 untuk menjadi konsultan interior. Selanjutnya, ia diminta terlibat dalam menyiapkan pembangunan Angkasa Pura Retail, anak perusahaan Angkasa Pura 1 yang bergerak di bisnis retail. Teges melakukan riset, mencari orang-orang baru, membuat konsep pertokoan di bandara, hingga menentukan apa saja yang akan disajikan di pertokoan itu, termasuk penataan serta interiornya. Baginya, ini sebuah tantangan.

“Orang BUMN masuk ke ranah lifestyle saja sudah jadi kejutan. Waktu saya presentasikan konsep, mereka pun benar terkaget-kaget,” katanya seraya tertawa.

Dahlan Iskan, Menteri BUMN ketika itu, akhirnya setuju Angkasa Pura 1 memiliki satu lagi anak perusahaan, yakni Angkasa Pura Retail.

Dalam menata bandara, Teges memperhatikan tingkat kecemasan orang-orang yang hendak bepergian dengan pesawat, mulai dari check in hingga menunggu waktu untuk boarding. Menurutnya, rata-rata penumpang hanya punya waktu 45 menit setelah stress datang sebelum mereka naik pesawat. Selama 45 menit tidak banyak yang dilakukan di bandara, selain duduk dan membeli segelas minuman. Semua data tadi diperolehnya melalui riset dan menjadi landasannya membuat konsep bandara yang menyenangkan bagi para pengguna. Dari sanalah bandara Surabaya, Bali, Balikpapan, dan semua bandara di Indonesia bagian tengah dan timur yang dikelola Angkasa Pura 1 menjadi lebih cantik, apik, dan nyaman.

Semula Teges merasa Angkasa Pura Retail hanya perusahaan khayal, yang sukar terwujud. Namun khayalan tersebut menjelma kenyataan dan dampaknya, menghasilkan keuntungan untuk Angkasa Pura 1.

Onde Mande Masakan Padang, C+, Republik, My Indonesia, Choux Patisseerie, tulisan, Richfield, BACI, Rosiepao Hongkong, Desserts Homemade, Raja Tubruk, Macaron, dan Hand Roll Café adalah took-toko riil yang berhasil dibuat Teges. Semuanya unik dan tersegmentasi.

C+ adalah sebuah juice bar yang semua jus buahnya mengandung vitamin C dan segala sesuatu yang mengandung unsur buah ada di C+. Tidak hanya jus, tapi berbagai makanan berbahan buah juga dijual. My Indonesia, sebuah took barang-barang kerajinan Indonesia yang ada di setiap bandara. Demi menjaga kualitas dan tampilan barang yang dijual di situ, Teges berbelanja dan menyeleksi sendiri barang-barang tersebut, lalu para pengrajin diizinkan untuk menitipkan penjualan karya mereka. Toko kosmetik BACI dibuat Teges untuk para wanita. “Kalau iseng pasti paling tidak beli lipstick satu,” ujarnya. Lalu untuk pria, ia mempunyai Richfield. Para pria tidak pernah sengaja pergi ke mall, kecuali bertujuan untuk menemani istri dan anak. Teges mengetahui hal ini. Richfield menjadi favorit pria di bandara. Ia menjelaskan bahwa pria-pria yang datang ke sini tidak memedulikan harga. Jika mereka memerlukannya, berapapun harganya mereka akan membeli dengan suka cita. Penyebabnya? Mereka jarang berbelanja.

Kisah menarik lain adalah Raja Tubruk. Teges rupanya sangat memperhatikan detail. Bandara besar atau bandara kecil harus sama-sama nyaman dan menarik. Raja Tubruk didedikasikan bagi lidah para penumpang lokal dan asing terutama yang berada di bandara kecil. Raja Tubruk memang hanya menjual kopi tubruk saja, tidak menggunakan mesin-mesin canggih seperti yang digunakan di kafe atau kedai modern. Tagline yang ia usung pun tepat sasaran, “minum kopi cara Indonesia”. Bagi mereka yang ingin menikmati kopi dengan cita rasa yang lebih modern tentu saja ada Republik, kedai kopi yang kontemporer.

Teges berterus terang bahwa ia memang bosan melihat tampilan bandara kita yang begitu-begitu saja. Menurutnya, suasana itu pula yang membuat orang sungkan pergi ke bandara lebih awal dan membuat calon penumpang sengaja datang ketika sudah mendekati waktu pesawat lepas landas. Ia ingin meningkatkan kualitas bandara.

Kini ia juga aktif berkampanye di media social. Setiap orang yang belanja di bandara dapat menggunakan hashtag #belanjadibandara di Twitter maupun Instagram mereka.

Daya kreatifnya tidak pernah redup dan ia memiliki kebebasan untuk memunculkan berbagai ide baru. Namun, memimpin perusahaan menjadi tantangan  yang tidak kunjung berakhir baginya. Angkasa Pura Retail semakin beerkembang. Sekarang sudah ada sekitar 1500-an calon pegawai yang siap dipimpin serta bergbung bersama Teges.

Tetapi dibalik kesibukannya menuju satu bandara ke bandara lain, ia mengatakan pekerjaan utamanya adalah menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Meskipun tak dipungkiri bahwa ia memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap semua jenis pekerjaanya.

Ia mengakui sangat mudah jatuh cinta terhadap apa yang tengah dilakoninya. “Saya selalu bilang pada anak-anak, jika kamu berhenti bermimpi dan berhenti mencintai pekerjaanmu, maka kamu tidak punya apa-apa lagi untuk dilakukan. Tidak ada yang bisa kamu kerjakan.“ Sebuah pernyataan tegas yang berakar dari kesungguhan.

Baginya, pekerjaan apa pun akan sempurna karena cinta.

Sumber : Dewi , Mei 2015

 

Pulus Bambang W. S. Selamat Jalan dan Selamat Datang

Selamat-Jalan-dan-Selamat-Datang.SWA-eds-09.-XXXI.30Apr-11Mei.2015.pg-102

Oleh Paulus Bambang WS

Perjalanan dari Semarang ke Ambarawa bukan perjalanan panjang, bahkan boleh dibilang perjalanan jarak pendek untuk ukuran jaringan jalan urban-rurai pada saat ini. Namun, sudah jamak, jarak pendek bukan berati waktu pendek, kemacetan membuat jarak pendek itu harus saya tempuh hampir 90 menit.

Dengan kondisi merayap, saya bisa menikmati pemandangan sekitar yang sudah lama tidak saya perhatikan. Kali ini, saya berupaya merasakan apa yang berubah di antara dua kota ini setelah sekian lama tak saya kunjungi.

Tiba-tiba mata tertuju pada suatu tanda yang sudah sejak dulu terpampang besar di jalan, yakni gapur ucapan “Selamat Jalan” begitu meninggalkan Semarang disertai ucapan terimakasih sudah mengunjunginya. Tidak berapa jauh, muncul gapura lain dengan ucapan “Selamat Datang” di Ungaran untuk menyambut para pelancong atau pelewat yang akan memasuki kota kecil ini.

Kedua ucapan tersebut mendadak hidup di pikiran saya. Walaupun ucapan ini sangat standard an hampir selalu ada di perbatasan kota mana pun dengan bahasa yang mungkin berbeda tapi substansinya sama.

Kalau itu sebuah perjalanan wisata, sangat mudah karena memang itu yang dimaui. Meninggalkan yang lama dan memasuki yang baru. Akan tetapi, kalau merupakan perjalanan karier apalagi jabatan empuk, kata ini menjadi “kata keramat” bagi yang menginginkannya.

Bayangkan, perjalanan kursi kepemimpinan adalah peralanan siklus hidup para pemimpin. Satu datang dan satu pergi. Selalu begitu dengan harapan yang menggantikannya bisa membawa kesegaran yang lebih baik karena mereka lebih muda, lebih terdidik, lebih siap menghadapi tantangan di era baru yang berbeda dari zaman pendahulu. Namun nyatanya, banyak yang tidak mau atau tidak berani mengucapkan “selamat jalan” dan “terima kasih”.

Bagi pejabat yang sudah enak dengan kursi pemimpin – yang selalu dipuja-puji bagai dewa – meninggalkan tahta kegelimangan harta dan kuasa dengan mengucap “selamat jalan”, akan membuat nestapa. Apalagi kalau yakin bahwa kursi baru yang akan diduduki di perjalanan selanjutnya bukanlah kursi promosi, ia akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan kursinya selama mungkin sampai ia melihat ada kursi “selamat datang” yang lebih terhormat, lebih besar, lebih enak, dan lebih tinggi.

Lebih ironis lagi, mereka bukannya malu melainkan malahan bangga ketika tidak ada satu pun kader atau calon lain yang ia rasa bisa menggantikannya saat ini. Dengan berbagai alas an da justifikasi, pemimpin macam begini yang saya anggap tidak “sukses” – karena tidak bisa menyiapkan “suksesi”-nya – berusaha menduduki kembali dengan menggalang cara aklamasi, musyawarah mufakat bulat, untuk menyambut lagi teriakan “selamat datang”. Tidak berani beradu laga, dengan alasan akan memecah belah kesatuan, padahal di hati yang paling dalam ia tidak berani melihat calon pesaing yang muncul.

Itu sebabnya, banyak yang terus berusaha bertahan, bahkan yang sudah pernah menduduki dan menyerahkan ke generasi berikutnya, masih ada pula yang menginginkan kembali ucapan “selamat datang” di kursi yang sama.

Kalau itu terjadi di organisasi privat atau perusahaan keluarga, kondisi ini masih dapat dipahami, tetapi kalau ini terjadi di perusahaan publik, organisasi massa dan pejabat, sungguh merupakan lampu kuning. Kematangan kader dan pemimpin menjadi pertanyaan besar.

Saya jadi miris dan bertanya-tanya, ini yang salah pemimpin atau yang dipimpin? Bahwa selalu ada keraguan untuk memberikan tongkat estafet kepada pemimpin baru adalah wajar, tetapi bukan berarti tongkat itu tidak dipindahtangankan. Kemandekan aliran “selamat jalan” dan “selamat datang” menyebabkan kemandekan kaderisasi yang digadang-gadang sebagai salah satu pilar kuat untuk menghasilkan organisasi yang kuat dan sehat.

Karena tidak ada kesadaran pribadi untuk meneriakkan “selamat datang” kepada calon penggantinya, maka banyak organisasi yang memutus rantai kesinambungan tidak sehat ini dengan aturan hanya dua periode atau satuan waktu tertentu. Ini akan membuat pemimpin memikirkan regenerasi pada jabatan di periode terakhir. Ini jauh lebih baik dibanding tidak.

Nah, sayangnya tidak semua organisasi memiliki disiplin ini, akibatnya organisasi jadi mundur. Kalau ini terjadi di level nasional, sungguh memiriskan apalagi kalau menjangkit di hampir semua organisasi besar yang katanya professional dan modern.

Sebaiknya, ketika terjadi revolusi mental di level pimpinan, maka akan terjadi paradigm yang sehat ketika mereka didaulat dengan ucapan selamat datang. Ketika ia datang, ia sudah merancang kapan ia mau pergi. Ketika ia disumpah menjabat, sudah memikirkan siapa calon penggantinya. Ketika ia mulai merancang 100 hari pertama, ia sudah pula memikirkan 100 hari terakhir ketika ia harus mengucapkan salam selamat tinggal. Ketika ia tahu, ia tidak mampu, ia akan segera mencari calon lain yang mampu. Ketika ia sadar, kinerjanya jauh dari harapan, ia merancang gapura selamat datang bagi calon penggantinya.

Kalau revolusi mental ini jadi “terpental”, yang tidak siap dengan ucapan selamat jalan akan mengacak-acak, mengobok-obok, mengobrak-abrik organisasi yang membesarkannya, menyedihkan sekali. Perpecahan terjadi, hanya karena ego maka yang dikorbankan organisasi dan rakyat banyak.

Semoga revolusi mental ini bukan angan-angan. Kalau tidak, harga yang harus kita bayar terlalu mahal hanya untuk melihat ego bermain di level atas sana.

Memang, kita masih harus belajar sabar untuk menyadarkan lagi para pemimpin untuk arti “selamat jalan” dan “selamat datang”.

Sumber : SWA, April 2015

Febriarti Khairunnisa Untuk Lombok yang Bersih

Untuk-Lombok-yang-Bersih.Femina-eds-Mei.2015.pg-66-67

Merangkul 125.000 WARGA

Lombok punya banyak tujuan wisata yang bisa dikembangkan, “Seperti Bali, Lombok punya banyak pantai yang indah. Akan tetapi, tidak sedikit yang kondisinya kotor karena sampah,” ujar gadis kelahiran 22 Februari 1984 ini. Tak hanya kondisi lingkungan kotor yang menjadi kegelisahannya, akan tetapi juga tingkat kehidupan social dan ekonomi masyarakatnya.

“Indeks pembangunan manusia di Lombok sangat rendah. Dari segi ekonomi, pendidikan dan kesehatan masih belum berkembang. Dari segi pendidikan, angka putus sekolah masih tinggi, begitu pula dengan tingkat pengangguran,” tutur Febri.

Melihat fakta ini, ia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Pengalamannya pernah tinggal di Kota Gibson, Kanada, saat mengikuti program pertukaran pemuda Kanada – Indonesia yang diadakan Kemenpora tahun 2005, telah membuka matanya.

“Saya kagum karena hampir semua penduduknya mengonsumsi makanan organic. Gibson punya mata air bersih sehingga mereka bisa minum di air keran. Masyarakatnya sangat menjaga air dari alam. Mereka memilah sampah dengan baik dan menghindari pemakaian bahan kimia,” ujar lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Mataram, Lombok, ini.

Kembali ke Lombok, Febri sedih menyaksikan banyak orang yang masa bodoh, buang sampah seenaknya ke sungai dan laut. “Di sini, sungai seperti sudah dilupakan fungsinya.”

Bersama suaminya, Syawaludin (33), ia membentuk bank sampah yang diberi nama Bintang Sejahtera NTB, berlokasi di Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. “Tentu, sebelum mulai terjun, kami harus memastikan feasibility bisnisnya ada,” cerita Febri. Sampah seperti plastic, kardus, kertas, besi, dan aluminium, punya nilai ekonomi dan bisa dijual lagi.

Setelah yakin ada pasar yang bisa menerima olahan sampah daur ulang, Febri dan suaminya mulai membangun system, yakni dengan memberi insentif berupa pinjaman untuk masyarakat. Besarnya, dari Rp100.000, Rp200.000, sampai Rp500.000. Masyarakat cukup membayar pinjaman itu dengan sampah.

Tapi, baru beberapa waktu berjalan, Febri menghadapi kredit macet. “Para nasabah mulai banyak yang nakal. Mereka ambil pinjaman di kami, tapi sampahnya mereka jual ke orang lain. Kami rugi sangat banyak, hampir Rp100-an juta. Gara-gara merugi, kami pun set back,” kenang Febri.

Mulai lagi dari nol, Febri pun memutuskan untuk mengubah system pinjaman menjadi system tabungan tidak ada lagi yang boleh meminjam. Ia pun mengajak orang untuk menabung di bank sampahnya, atau cash and carry. Mereka bisa langsung mendapatkan pembayaran dari sampah yang disetorkan. Tapi untuk itu, Febri juga harus bekerja keras menyebarkan edukasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Dari sampah yang dikumpulkan itulah, dalam sebulan, Febri bisa mengirim sampah plastik untuk didaur ulang, sekitar 27-35 ton. Omzetnya? Mencapai Rp150 juta.

Kendati demikian, Febri mengaku tidak ingin menyebut bank sampahnya ini sebagai bisnis, melainkan kewirausahaan social. “Orientasinya bukan untuk keuntungan pribadi, tapi bisnis yang menguntungkan masyarakat. Segala keuntungan yang kami dapat, kami kembalikan ke masyarakat,” tuturnya. Ia berharap, dari aktivitasnya ini bisa menggerakkan roda ekonomi lokal.

Selain nasabah, ada pula yang memang menjadi pekerja di bank sampah, terlibat dalam proses pengumpulan, pengangkutan, penggilingan, penjemuran, dan gudang. Untuk itu, mereka mendapat gaji. Jumlah mereka yang mendapat penghasilan di bank sampah Febri, ada sekitar 150-175 orang.

Di luar itu, ada komunitas-komunitas yang dirangkul untuk ikut bekerja sama, antara lain terdiri dari karang taruna, posyandu, dan desa. Belum lagi, sekolah-sekolah yang terlibat, ada sekitar 50 sekolah. Meurut Febri, kalau ditotal bisa 125.000 warga yang terjaring program ini.

Khusus untuk sekolah-sekolah, Febri melakukan program edukasi, bekerja sama dengan Kak Wawan dari Kerajaan Dongeng, juara dongeng nasional asal NTB.

Selain sekolah, Febri juga berkeliling melakukan edukasi ke komunitas RT, kader PKK, posyandu, dan karang taruna. “Saya memutar video tentang bahayanya sampah. Ada banyak sekali zat dan logam berat beracun yang disebabkan oleh sampah. Saya ingin membongkar mindset mereka. Bukan asal yang penting sampah hilang dari mata mereka. Saya ajak mereka berpikir, ke mana sampah itu dibawa dan apa yang terjadi setelahnya,” tutur Febri.

Melepas Karier Mapan

Fokus Febri pada dunia pengolahan sampah juga karena terinspirasi dari suami. Berasal dari latar belakang keluarga yang penuh keterbatasan. Orang tua Syawaludin yang berasal dari kawasan Lombok Tengah bagian selatan sering menghadapi paceklik. Mereka tidak bisa menanam sawah, dan akhirnya hidup dari mengumpulkan sampah.

Suami Febri bertekad ingin memutus mata rantai kemiskinan. Dari hasil memulung sampah, Syawaludin akhirnya berhasil mengenyam kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Mataram.

Kagum pada kegigihan suami, Febri mengatakan pada Syawaludin. “Kalau kakak berhasil sekolah tinggi dari memulung sampah, kenapa tidak dibagi cerita ini. Jadi, tidak ada alas an bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Tidak ada alasan bagi anak untuk putus asa dengan kondisi seperti itu,” cerita Febri.

Setelah lulus kuliah, Febri beruntung mendapatkan pekerjaan bergaji lumayan di sebuah lembaga asing, Jerman Internasional Coorperation (GIZ) yang bertempat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB. Selain itu, ia sempat bekerja di Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) NTB.

Begitu pula Syawaludin, sempat bekerja sebagai staff ahli di DPRD Provinsi NTB. “Dari segi finansial, tidak ada masalah. Tapi, ini semua berawal dari keresahan, mau sampai kapan fenomena seperti ini terus terjadi dan Lombok makin kotor,” ujar Febri

Di Juni 2010, tak mau menunda-nunda lagi, Febri dan suaminya memulai dengan mengumpulkan apa yang mereka punya. Seluruh tabungan dan cincin maskawin mereka jual. Febri juga mengajak temannya, 3 pasang suami-istri, menginisiasi program bank sampah bersama-sama.

Namun, seiring waktu, karena kesibukan yang lain, praktis yang aktif di bank sampah tinggal Febri dan suaminya. “Kami pun berpikir, ini harus digeluti secara full. Saya pun memutuskan untuk tidak lagi bekerja di GIZ. Suami juga resign dari kantor dewan,” ujarnya.

Tak bisa dipungkiri, melepas karier demi bank sampah, sempat membuat Febri dan suaminya dianggap tidak waras. “Saya sering ditanya orang dan diremehkan. ‘Kalian ini lulusan S-1, ngapain ngurus sampah. Tetangga juga heran, ‘Kalian pasangan suami istri gila!’ Sdah dapat pekerjaan bagus, kok, malah ditinggal,” kenang Febri. Tentangan itu tak hanya datang dari orang-orang sekitar mereka, tapi juga dari keluarga yang mempertanyakan keputusan mereka.

Setelah 4 tahun berjalan, barulah mulai banyak yang paham. Ternnyata, sampah itu bisa, kok, dikelola dengan baik, tanpa membuat orang yang mengelola tampak hina. Bahkan, perubahannya bisa dirasakan.

“Dari cakupan paling kecil di kawasan RT dan sekolah, sekarang terlihat lebih bersih dan terkelola,” tutur Febri, yang pada Maret lalu memperoleh penghargaan Indonesia Women of Change 2015 dari Kedubes Amerika Serikat.

Febri juga percaya, perubahan itu dimulai dari tataran rumah tangga. “Dengan cara yang simple, tiap rumah bisa menerapkan pemilahan sampah. Kalau di rumah sudah terkelola, akan jauh mengurangi volume sampah yang diangkut.

Sumber : Femina , Juli 2015

Prof dr R Hariadi SpOG (K) Dokter Spesialis Kandungan Pegang Jabatan Tertinggi di Rumah Sakit

Dokter-Spesialis-Kandungan-Pegang-Jabatan-Tertinggi-di-Rumah-Sakit.-Kompas.25-Mei-2015.Hal.34

Bekerja dengan hati ikhlas, sabar, setia, serta selalu bersyukur adalah prinsip Prof dr R Hariadi SpOG (K) dalam menjalankan tugas.

Tidak pernah terbersit dalam angan pria kelahiran Malang tahun 1936 ini untuk menjadi CEO salah satu rumah sakit terenama di Surabaya. Pada usia belia, ia justru berkeinginan untuk berprofesi menjadi seorang guru. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika telah tiba saatnya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi pada 1956, Hariadi mengikuti saran kakak tertuanya yang kala itu menanggung biaya sekolah, untuk mendaftar di jurusan S-1 Pendidikan Dokter di Universitas Airlangga.

Meskipun telah mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran, impiannya menjadi seorang guru bisa terwujud. Pada tahun 1963, ia diangkat menjadi dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kariernya terbilang sukses hingga mengantarkannya sampai posisi Guru Besar. “Saat diberi tugas, harus dilakukan sebaik-baiknya. Dengan begitu, semua kesukaran akan teratasi,” ujar Hariadi berbagi tips sukses saat ditemui Selasa (19/5).

Perjalanan karier anak kedua dari Sembilan bersaudara ini, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada 2007, sesaat setelah pension sebagai dosen, Ia justru diberi amanah mengemban tugas menadi CEO RS Husada Utama yang berlokasi tak jauh dari gedung FK Unair. Meski tidak mempunyai dasar menjadi seorang direktur, ia mengaku tak lekas berputus asa menjalani sesuatu yang baru. Baginya menjadi CEO RS Husada Utana merupakan pengalaman yang berkesan. Pasalnya, ia dihadapkan pada pengalaman baru dan dituntut untuk belajar menguasai bidang tersebut. Kekompakan, kerja sama, dan komunikasi yang baik terjalin antar pegawai di RS Husada Utama, yang membuatnya merasa senang menduduki jabatannya hingga kini.

“Dokter merupakan profesi yang mulia dan terhormat karena tugasnya mengabdikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat. Jangan melihat dari sudut pandang berapa besar materi yang akan didapat. Seorang dokter harus mempunyai jiwa mengabdi dan tulus memberi,” pesannya. Kini, di usianya yang tak lagi muda, ia masih menyempatkan diri bersantai dengan keluarga di tengah kesibukannya mengelola RS Husada Utama.

Sumber : Kompas , 25 Mei 2015

Ipatmie Kreatif Mengolah Singkong

Kreatif-Mengolah-Singkong.-Kompas.22-Mei-2015.Hal.16

Sabtu (9/5) sekitar pukul 09.00, Ipatmie (51) tiba di hotel batu suli, palangkaraya, diantar Dereksen Demen (61), suaminya, menggunakan sepeda motor. Ada tiga plastic besar berisi peralatan memasak dan bahan membuat aneka kue. Di pendopo hotel, telah menunggu 20 ibu peserta pelatihan pengelolaan produk berbasis hasil pertanian yang digelar dinas perindustrian dan perdagangan provinsi Kalimantan tengah.

Ipatmie, pemilik industry rumah tangga “griya jawau melin” dipercaya melatih peseerta sesame pelaku usaha industri rumah tangga yang berasal dari 13 kabupaten/1 kota di Kalimantan tengah untuk member pelatihan membuat aneka kue menggunakan tepung mocaf (modified cassava flour), yaitu tepung yang diolah dari singkong. Saat itu, Ipatmie melatih membuat brownies. “jawau dalam bahasa dayak artinya singkong dan melin adalah anak saya” kata Ipatmie menjelaskan arti nama industry rumah tangganya. Kedekatan dan keterampilannya mengolah singkong menjadi bahan makanan didapat Ipatmie sejak kecil. Perempuan kelahiran desa bereng rambang, kabupaten pulang pisau, 3 september 1964, dan dibesarkan di kelurahan panjehang, kecamatan rakumpit,palangkaraya, belajar dari ibunya, uni mahar. Sang ibu, selalu membuatkan beras singkong atau oleh masyarakat dayak dikenal beras kupu saat musim kemarau berkepanjangan. Saat kemarau,air sungai surut san kapal pembawa sembako tidak dapat menjangkau desanya.  Beras kupu dibuat dengan mengolah singkong. Setelah dikupas dan dicuci, singkong direndam dalam baik sekitar 3 hari. Setelah lembut, hasil rendaman itu disebut kupu. “rendaman itu disaring untuk diambil patinya. Lalu digiling dan di sangria, kemudian dijemur” kata Ipatmie sambil menunjukkan beras kupu dalam kemasan 700 gram yang dijual 15000. Untuk memasaknya,lanjut Ipatmie, beras kupu dicuci bersih dan direndam dalam sekitar 5 menit. Setelah itu ditiriskan dan diangin anginkan sekitar 15 menit. “kemudian, beras kupu dikukus dengan diberi sedikit garam untuk menambah rasa. Beras ini baik untuk penderita diabetes karena rendah gula” papar Ipatmie. Dari pengalaman dan juga pelatihan pembuatan tepung mocaf memang rumit. Setelah singkong dikupas dan diserut,lalu dicuci, dan diperas. Patinya dipisah ampasnya untuk dijadikan tepung mocaf setelah direndam satu malam” katanya. Ipatmie mengawali usaha catering danpembuatan kue kue berbasis olahan singkong sejak 2001, saat dirinya menjadi ketua kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) lestari. Kelompok usaha beranggota lima orang itu, memanfaatkan tempat tinggalnya yang lama dijalan lumba lumba, palangkaraya. Setelah pindah rumah ke jalan sapan pada 2010, usahanya tetap berlanjut dan dibantu anak dan saudaranya. Baik bersama UPPKS lestari, kelompok pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), maupun secara personal, Ipatmie berulang kali juara dalam lomba memasak masakan tradisional berbasis tanaman local dari tingkat kota palangkaraya, provinsi Kalimantan tengah,hingga nasional. Pada 2013, misalnya, Ipatmie meraih juara 2 dalam parade pangan nusantara di malang,jatim. Saat itu jenis makanan yang dilombakan adalah masakan serba jagung dan singkong. Usaha dan keuletan Ipatmie semakin dikenal orang dan juga mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian bantuan peralatan penepung singkong dan perajang singkong dari badan ketahanan pangan provinsi Kalimantan tengah pada 2013. Ipatmie pun mendapatkan kredit dari BRI Rp 20 juta selama dua tahun untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, ada juga bantuan dari PT Telkom sebesar Rp 25 juta. Saat ini, untuk memenuhi permintaan produksi olahan singkongnya, Ipatmie memerlukan 300 kg singkong per minggu atau lebih dari 1 kuintal singkong perbulan. Singkong itu didapatnya dari petani di desa mintin, kabupaten pulang pisau, kalteng, dengan harga rp 1800 per kg. Dari 300kg singkong itu, 100kg singkong bisa diolah  menjadi 50kg tepung mocaf yang dijualnya rp 12500 per kg. sebanyak 100kg yang lain untuk menghasilkan 60kg beras kupu, adapun 100kg singkong sisanya dipakai untuk membuat tepung mocaf yang digunakan untuk membuat aneka kue. Pemasaran tepung mocaf dan beras kupu produksinya tidak sekadar di kota palangkaraya, tetapi juga sampai ke kabupaten di Kalimantan tengah, misalnya di kabupaten lamandau dan kota waringin barat. Dalam menekuni pengolahan singkong tersebut,kendala utama yang dihadapi adalah masalah pengeringan olahan singkong. “jika musim hujan, terik matahari sangat minim. Akibatnya singkong berubah menjadi kebiru biruan dan rusak. Dulu pernah sampai rugi rp 2 juta” ujarnya.

Inovasi

Tidak berhenti pada pembuatan aneka kue tradisional, Ipatmie juga mencoba berinovasi membuat brownies umbut rotan yang menjadi salah satu tanaman khas di Kalimantan tengah. Ide membuat brownies umbut rotan didapatnya dari konsultasi dengan desainer grafis rumah kemasan Kalimantan tengah, bramita andriana. “brownies kalakai, labu kuning, ubi ungu dan pisang sudah bisa. Tapi untuk brownies rotan saya jadi tertantang untuk memanfaatkan tanaman khas kalteng. Saya berpikir bagaimana caranya jenis sayur ini dijadikan kue” katanya. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Ipatmie pun berhasil membuat resep brownies umbut rotan. Umbut merupakan bagian ujung rotan. Umbut rotan yang telah dikupas kemudian diiris dan direbus. Setelah ditiriskan kemudian diblender dan dicampur santan kental. “lalu dimasak di api atau disangrai untuk membuang kadar airnya. Sesudah itu dicampur ke adonan margarine, cokelat, tepung mocaf,telur,gula dan vanili. Lalu dibakar dioven sampai 30 menit” paparnya. Selain brownies rotan, Ipatmie juga mengolah ikan gabus yang masih banyak ditemukan disungai untuk dijadikan abon. Dari satu kilogram daging ikan gabus, bisa dihasilkan 2 ons abon. Ia pun terus tertantang untuk mengembangkan jenis penganan tradisional lain.

 

Sumber: kompas,jumat 22 mei 2015

Hj Ramlah Keterbatasan yang Tidak Membatasi

Keterbatasan-yang-Tidak-Membatasi.-Kompas.26-Mei-2015.Hal.16

Kalau mau, ramlah bisa saja duduk berpangku tangan dan hanya berharap dari orang tuanya yang berkecukupan. Atau dia bisa saja mencari pembenaran dan berharap belas kasih sebagai penyandang disabilitas.

Namun, dia tak melakukan itu. Menjadi bisu dan tuli sejak kecil, tak membuatnya pasrah. Dia melakukan banyak hal yang melampaui keterbatasannya. Membantu berdagang baju di pasar sentral Makassar,menjadi kasir, menjual kue dan kae yang terbilang sukses. Merintis usaha kue donat yang di mulai dengan menitip di toko toko dengan jumlah puluhan donat perhari, pernah merugi, menghadapi pembeli yang bingung karena keterbatasannya, tetapi semua itu tak membuat ibu dua anak ini putus asa. Sebaliknya, semangatnya makin terlecut untuk belajar dan terus berusaha. Kalau kini dia sudah memiliki usaha kue dan kafe, mempekerjakan belasan penyandang disabilitas, menjual 1000 hingga 5000 donat perhari, itu merupakan buah kerja keras dan ketekunannya. Baginya, memiliki keterbatasan tak berarti langkah mesti terbatas. “saya ingin menunjukkan kepada orang orang bahwa saya pun bisa mandiri. Perbedaan saya dan orang lain hanya sebatas saya bisu dan tuli, diluar itu, sama saja. Bahkan saya juga selalu berusaha agar bisa berkomunikasi dengan normal pula yang membuat ramlah memajang poster besar di kafe miliknya yang berisi panduan simbol-simbol jari yang menjadi bahasa isyarat penyandang disabilitas. Tersedia pula dalam bentuk lembaran yang kerap di bagi kepada pengunjung yang datang. “pengunjung disini umumnya orang normal dan kami di kafe ini ingin memperkenalkan kepada mereka bahasa isyarat kami. Selain itu, kami ingin tetap bisa berkomunikasi dengan pengunjung” kata ramlah. Rupanya hal ini justru menjadi salah satu daya tarik. Selain kekaguman orang kepada ramlah dan semua pegawainya yang selalu penuh senyum dan semangat, banyak yang datang berkunjung karena juga ingin belajar bahasa isyarat.

Mandiri

Sore awal Maret, saat ditemui di Kafe Mella miliknya di jalan hari sunu, Makassar, adalah pertemuan setelah tiga kali janji dijadwal ulang. Kesibukan ramlah dan kebiasaannya tetap terjun ke dapur walau memiliki belasan pegawai membuatnya kerap cukup sulit ditemui. Selain sibuk mengelola usaha kuenya, dia juga aktif di sejumlah perkumpulan atau organisasi disabilitas. Di organisasi, dia aktif member motivasi kepada sesame penyandang disabilitas atau kebutuhan khusus. Dia member pelatihan agar mereka bisa mandiri dan hidup sejahtera. Lahir normal, ramlah tumbuh besar menjadi bisu dan tuli setelah menderita panas tinggi saat kecil. Sulung dari enam bersauadara ini sempat sedih saat melihat teman sebayanya bisa berbicara dan dia tidak. Namun, kesedihan itu hanya selintas. Dia lebih memilih mensyukuri bagian tubuh lain yang normal. Lalu, dia berusaha tumbuh seperti orang normal lainnya waktu tetap harus bersekolah di SD,SMP, SMU luar biasa. Berada dalam keluarga yang sangat berkecukupan, kedua oarng tuanya tak mengajarinya manja. Ramlah pun ingin menunjukkan bahwa keterbatasannya tak membatasinya untuk mandiri. Sejak usia 15 tahun, dia “bekerja” kepada kedua orangtuanya, membantu menjual kain dan pakaian dipasar sentral. Dia mendapat upah dari jerih payah menjual. Uangnya dia tabung. Ingin merasakan dan belajar pekerjaan lain, saat masih belajar di SMU, dia meminta izin menjadi kasir di kafe orangtuanya. Seperti sebelumnya diapun digaji untuk pekerjaannya. Ramlah tak minder walau pengunjung kafe sebagian besar remaja seusianya.

Jatuh bangun dan bangkit

Tahun 1995, ramlah bertemu Irwansyah, temannya semasa sekolah dan sesama penyandang disabilitas, lalu memutuskan menikah. Seusai menikah, dia tetap bekerja menjadi kasir di kafe milik orangtuanya sepanjang sore-malam dan membantu menjual kain pagi-siang. Ingin menambah pengalaman, dia beralih membantu iparnya membuat donat. Bekerja beberapa tahun kepada iparnya, rupanya dimanfaatkan ramlah untuk belajar dan akhirnya tertarik membuat sendiri dan menjual. Ada pun suaminya, membantu usaha orangtuanya. “tahun 2009, saya berbicara sama suami dan dia setuju. Untuk modal awal, kami sepakat menjual kendaraan. Lalu, ditambah dengan uang tabungan saya dan tabungan suami. Lalu saya beli peralatan dan bahan membuat kue. Saya akhirnya memberanikan diri membuat sendiri. Awalnya 50-100 biji” kata ibu dua anak ini. Kue yang dibuat sendiri itu semula dititipkan ditoko toko penjual kue. Ketika produksi makin banyak,dia pun mempekerjakan dau rekan sesama penyandang disabilitas. Usaha ini sempat merugi,tetapi dia tak berputus asa. Dia terus belajar hingga akhirnya mulai berpikir untuk menjual di tempat sendiri. “saya meminta izin sama orang tua untuk meminjam teras dan membangun sedikit tempat untuk menjual. Awalnya hanya tempat kecil, dan khusus menjual untuk dibawa pulang. Tapi lama lama ternyata makin banyak pembeli. Lalu, saya merenovasi teras orangtua dan menata menjadi kafe” katanya. Usahanya membuahkan hasil, kafe milknya makin ramai. Dia tak lagi sekedar berurusan dengan orang yang datang membeli dan membawa pulang atau yang duduk di kafe, tetapi juga pesanan yang kadang hingga  5000 donat perhari. Usahanya makin maju, bahkan mulai mempekerjakan sesama penyandang diabilitas. Kini pegawainya berjumlah 15 orang. Kegigihannya dan aktivitasnya menjadi motivator membuat ramlah dipercaya menjadi ketua DPD gerakan untuk kesejahteraannya tunarungu Indonesia (gerkatin) Sulses selama 13 tahun hingga tahun ini. Dia juga aktif dan menjadi pengurus di organisasi persatuan penyandang disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel dan himpunan wanita disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel.

 

Sumber: kompas, selasa 26 mei 2015

Stanley Harsha Menjembatani Peradaban AS-Indonesia

Menjembatani-Peradaban-AS-Indonesia.-Kompas.27-Mei-2015.Hal.16

Disanjung sebagai jembatan dua peradaban Indonesia-amerika, spontan dia berkata “kesimpulan yang terlalu cepat”. Seorang pengelana budaya? Tidak juga. Lantas apa? Katanya “saya hanya membuat catatan pengalaman seorang mantan diplomat AS yang pernah bekerja di Indonesia selama 12 tahun sebagian dari 28 tahun sebagai diplomat”

Bertemu dan ngobrol bersama Stanley harsha (58),panggilan akrabnya,Stanley, stan, atau harsha. Kami diperkaya makna idiom “jatuh hati”. Serba tenggang rasa, tidak bergaya jagoan layak orang amerika. Kata Stanley “saya toh,seorang American” yang rendah hati dan jatuh hati pada Indonesia. Berkat istrinya, henny mangoendipoero, yang muslimah solo, Stanley menikah secara islam dengan latar belakang kebudayaan keturunan ningrat jawa yang kental? Berkat karier sebagai diplomat? Berkat bawaan hatinya yang menempatkan sesame bangsa dan sesame manusia sebagai sesame ciptaan? Wah katanya,mungkin berkat semuanya! Stanley lebih dikenal public terutama setelah terbit bukunya seperti bulan dan matahari. Indonesia dalam catatan seorang diplomat amerika. Dalam peluncuran dan bedah buku itu, akhir mei, prof azyumardi azra yang sekaligus menulis kata pengantar, mengapresiasinya tidak hanya sebagai catatan pribadi. Lebih dari itu. Buku Stanley merupakan refleksi pengembaraan dua peradaban AS dan Indonesia. Kedua negara yang sama sama berlatar belakang serba majemuk. Idiom klasik e pluribus unum (dari keragaman menjadi satu) atau semboyan bhinneka tunggal ika oleh empu tantular, mewujud dalam praksis kenegaraan/kebangsaan AS dan Indonesia. Ungkapan “seperti matahari dan bulan” dia pungut dari lebih tepat disodorkan istrinya. Judul itu menggambarkan sepasang kekasih yang tampan dan cantik. Menggambarkan kiasan idealisasi kedekatan hubungan AS dan Indonesia. Pengembaraan Stanley menjadi lengkap ketika jiwa raganya dipersatukan dengan mempersunting henny, henny berasal dari lingkungan keraton solo, putri seorang pejabat, padmosawego mangoendipoero,buyut pujangga keraton solo, ki padmosoesastro. Judul buku,kata Stanley dibuat dan ditemukan bersama istrinya. Istrinya pula yang menerjemahkan, sebab naskah asli ditulisnya dalam bahasa inggris. Beberapa hari kemudian, baru terbit dalam bahasa inggris (naskah asli) berjudul like the moon and the sun. Indonesia in the words of an American diplomat.

Diluar dugaan

Bulan dan matahari,ibarat yin dan yang dalam filsafat china klasik, member terang sekelilingnya (kemajemukan sebagai realitas serba alami). Stanley tidak menyangka bukunya diapresiasi banyak orang. Analisisnya jauh dari kedalaman catatan mantan dubes AS untuk Indonesia,marshall green, yang berjudul Indonesia: crisis and transformation. Buku berisi catatan pengalaman green, khususnya kondisi Indonesia tahun 1965-1968, periode sejak adegan akhir pemerintahan soekarno dan babak awal soeharto menancapkan kekuasaan represifnya. Sebuah catatan politik. Tentang serangan AS terhadap irak,bagian penting dari perang AS melawan terorisme, sejak awal Stanley tidak setuju. Cap umum negative amerika sebagai  “polisi dunia” kadang ada benarnya. Bahkan, standar dobel dia lihat sebagai cara kerja perpolitikan amerika terhadap sejumlah negara di dunia sepanjang sejarah. “kasus Vietnam, kasus perang teluk,kasus memerangi terorisme dilator belakangi kondisi dan kepentingan yang berbeda beda” kata Stanley pada kami beberapa hari yang lalu. Bagaimana dengan kehadiran amerika deng CIA nya,diisukan terlibat dalam berbagai pergolakan politik diindonesia? Menurut Stanley, kadang amerika dan Indonesia menemukan musuh yang sama. Taruhlah kasus timor timur, dimana marisme sebagai doktrin yang menjadi musuh bersama amerika dan Indonesia, membawa amerika ikut menyetujui serangan ke timor timur yang sedang bergejolak. Kekhawatiran efek domino menjadi kekhawatiran amerika dan Indonesia. Stanley tidak ingin memasuki wilayah sensitive politik, padahal niscaya dia kaya dengan pengetahuan dan pengalaman perpolitikan hubungan Indonesia dan amerika. Stanley mendapatkan catatan diplomasi sebagai warna warni perjuangan peradaban manusia. Taruhlah tentang hubungan budaya amerika dan Indonesia, yang baginya ibarat bulan dan matahari,tanpa dipertegas siapa matahari siapa bulan. Bagi Stanley, kedua entitas itu dirasakan sebagai personifikasi perjalanan hidupnya: orang amerika yang menyatu dengan Indonesia dengan tetap mempertahankan keunikan budaya masing masing, saling melengkapi dan memperkaya, dari berbagai keragaman menjadi satu. Latar belakang pendidikan dari tiga universitas yang berbeda beda, university of Colorado, Universidad de costa rica dan Universidad de mexico, pernah bekerja sebagai wartawan di amerika dan Venezuela, berkarier sebagai diplomat 12 tahun diantaranya di Indonesia, dari “sono”nya Stanley sudah pluralis. Bapaknya berasal dari irlandia dan ibunya amerika. Nama harsha itu nama eropa,dipupuk dalam pproses pendidikan serta kariernya tanpa sadar Stanley memang menjadi “jembatan” pemersatu berbagai kebudayaan.

Tanah air kedua

Kecintaannya pada Indonesia,sekaligus karena tugasnya di Indonesia, termasuk sebagai dubes sementara amerika di timor leste (2007) bagi Stanley nyaris tidak ada peristiw peristiwa penting di Indonesia yang luput dari amatannya. Indonesia menjadi tanah air keduanya, lebih konkret dengan menikahi henny mangoendipoero pada 1987 dan dianugerahi dua anak, annisa gevievieve dan sean Ralph. Kini kegiatan dan tugasnya tidak jauh dari apa yang sudah dijalani selama ini: jembatan dua kebudayaan, Indonesia dan amerika. Kecintaannya pada Indonesia, termasuk khususnya aceh dan jawa, membuat  dia prihatin mendalam dengan terjadinya musibah tsunami aceh akhir tahun 2006. Menjadi jembatan itu terus berlanjut,seiring tugas pasca purnakarya, yakni mempromosikan hubungan antara perguruan tinggi di amerika dan Indonesia. Di hari hari mendatang, dia berencana bertemu dengan sejumlah perguruan tinggi di sumatera. Berbagi waktu tinggal di Colorado dan Indonesia, dia terus berusaha mencintai Indonesia dengan kebudayaan, dengan agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia.

Sumber: Kompas, Rabu 27 Mei 2015