They are Deciding My Future.Jawa Pos Metropolis.25 Maret 2018.Hal.3027042018

Pernah ngerasa bimbang dan terjebak dalam dua pilihan? Mungkin itulah cognitive dissonance atau yang akrab disebut labil di kalangan remaja. Apalagi, kita kan masih mencari jati diri. Tentu factor lingkungan kerap, mempengaruhi pilihan kita. Hmmm, gimana ya cara menyikapinya? (may/nen/c14/fhr)

Oleh Danang Setyo Budi Baskoro MPsi, direktur Brilian Psikologi

 

TRIVIA

KAMU termasuk orang suka bingung nentuin pilihan? Well, santai aja. Kamu ukan satu-satunya orang yang ngerasain fenomena cognitive dissonance. Hamper semua remaja yang menjalani proses pendewasaan mengalaminya. Mau tahu fakta-faktanya? (may/c14/fhr)

8 diantara 10 Zetizen menyatakan sering labil.

Menurut 84 persen, Zetizen dampak kelabilan merekaa adalah menyesal sama keputusan sendiri.

Usia 15-17 tahun adalah saat-saat remaja paling rentan mengalami cognitive dissonance.

Masa Coba-coba 12-14 tahun

Fluktuasi hormonal dari masa pubertas kerap memengaruhi kestablian emosi remaja. Hasil penelitian Reed Larson dan Claudia Lapnman-Petraitis menyebutkan bahwa remja 12-14 tahun cenderung kurrnag bahagia. Singkatnya, suasana hati dan emosi remaja usia SMP lebih negative dan temperamental.

Dampaknya, anak usia ini bereksperimen dengan hal-hal baru. Karena sikap keinginantahuan yng tinggi, pemahaman teori yang masih sedikit dan emosi yang belum stabil, kadang “coba-coa” itu kemudian mengarah ke kenakalan remaja.

Misalnya, GF, salah seorang  siswa SMP negeri di Surabay Utara. Sering melihat tetangganya merokok bikin GF penasaran. Dia lantas diam-daim membeli rokok. “Awalnya, aku merokok di kamar karena takut ketahuan. Tapi, waktu itu kakakku masuk ke kamar karena takut ketahuan. Tapi, waktu itu kakakku mmasuk ke kamar dan marah-marah. Tapi untungnya nggak diaporkan ke mama papa. Dia malah nunjukin foto-foto orang kena kanker gara-gara rokok”, ujar GF. Thanks to his brother. GF pun sekarang mulai menjauhi rokok.

Periode Transisi 15-17 tahun

Menurut psikolog pendidikan John W Santrock, perkembangan pada usia 15-17  tahun merupakan titik yang mengarah pada proses mencapai kedewasaan sehingga mereka nggak lagi coba-coba. Emosi remaja lebih mudah dikendalikan. Mereka bisa membedakan mana yang baik dan buruk walau belum dapat menerapkan seluruhnya.

Namun pada usia ini berkembang juga sikap conformity. Yaitu, kecendurangan untuk menyerah atau mengikuti opini, nilai, atau kebiasaan orang lain. Kadang mereka melakukan suatu hal yang sebenarnya udah tahu hal itu salah. Tujuannya, bisa diterima dalam pergaulan.

Misalnya, Firmandika  Toyiba asal SMK Penerbangan Angkasa Singosari, Malang. Punya teman-teman yang hobi main game ternyata memengaruhi Firma untuk melakukan hal yang sama. “Setiap hari aku selalu main. Meski tahu besok ulangan atau bahkan ujian, aku terus main games,” jelasnya Firman pun susah buat berhenti karena berhenti main game berarti keluar dari pergaulan ang udah jadi zona nyamannya.

Menuju Dewasa 18-20 tahun

Dalam aturan hokum , usia 18 tahun ke atas udah dikategorikan dewasa. Wayne State University Physiian Group pun biang, pada usia remaja udah bissa menentukan pilihan dan nggak gampang terpengaruh lingkungan. Tapi, nggak jarang dibutuhkan masukan dan saran diri orang-orang terdekat, khususnya keluarga.

Sebab, pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar yang diterima sejak dini. Pendapat  keluarga merupakan pendidikan dasar yang diterima sejak dini. Pendapat atau pilihan orang tua masih cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Misalnya, dalam menikah jurusan kuliah. Nggak jarang, kita dengar ada teman yang “dipaksa” masuk jurusan tertentu oleh ortunya, kan?

Itulah yang sempat dialami Reza Ramadhani, mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Awlanya, Reza ingin masuk jurusan desain. “Aku pengin kuliah yang ada hubungannya sama passion-ku, tentang kreativitas gitu-gitu. Tapi orang tuaku pengin aku masuk jurusan teknik,”ucapnya. Setelah mengalami koonflik batin, beruntung Reza berhasil menemukan jalan tengah. Dia kini berkuliah di jurusan teknologi multimedia broadcasting.

Jenis Cogniive Dissonance yang Sering Dialami Zetizen (3 tertinggi)

Malas belajar menjelang ujian 40%

Nggak konsisten sama perasaan 17%

Diajak teman melakukan kenakalan remaja 12%

53 persen Zetizen setuju bahwa remaja sering labil karena sedang mencari jati diri.

Periode Preadolescent

Periode prodolescent kita alami pada usia 12-14 tahun. Menurut Psychology Today, pada usia ini remaja memiliki kecenderungan untuk memberontak dan mencoba hal-hal baru. “Remaja pada usia ini perlu belajar untuk berpikir positif dan punya pendirian,” tutur Danang Setyo Budi Baskoro MPsi, direktur Brilian Psikologi.

Yap, nggak jarang remaja paa periode ini mmulai melakukan kenakalan walau sadar sebenarnya salah. Contoh kasusunya, demi dierima dalam suatu pergaulan,seorang remaja harus mencoba melakukan kebiasaan teman-temannya seperti merokok atau berkelahi. “Padahal, memperoleh pengakuan tidak harus dengan memiliki kebiasaan buruk seperti temannya,” tutur Danang.

Periode Middle Adolescent

Mula munculnya tanggung jawab adalah karakter remaja 15-17 tahun. Remaja pada periode middle adolescent bahkan uudah mulai membuat tujuan jangka panjang untuk hidupnya. Namun, nggak jarang ada distraksi yang terjadi dan menghambat langkah. Mislany, ketika hari esok uda ujian, tapi kita tergoda untuk bersenang—senang lebih dulu. Padahal,kita sadar bahwa hal itu justru akan berpotensi membuat niali jelek.

Danang menyarankan untuk intropeksi diri jika hal tersebut terjai. “Lihatlah pada beberapa tahun mendatang akan ke manakah saya? Perlu ada cita-cita agar ada kejelasan tujuan hidup,”ujarnya. Jadi, usahakan untuk mengendalikan diri dan mendahulukan tanggung jawab ya!

Periode Late Adolescent

Remaja tahun 18-20 tahun berada di titik late Adolescent. Pada tahp ini, remaja cenderung mencari pilihan hidupnya. Dalam mengambil keptusan pun, dia akan lebih logisdan rasional. Tapi, nggak jarang orang tua masih ikut menentukan pilihan hidup si anak.

Jika itu terjadi,Danang menyarankan agar mencoba dulu pilihan yang ditentukan orang tua. Sebab, ada kemungkinan perubahan minta ketika kita telah menjalani pilihan itu. “Namun, jika perlu adaa komunikasi dengan orang tua,” tegasnya. Sebab, masih ada kesempatan untuk mengubahnya sebelum terlambat.

Profil Responden

Usia:

12-15 tahun 26%

16-18 tahun 67%

19-20 tahun 7%

Pendidikan SMP 10% SMA 67% Kuliah 7%

Jenis Kelamin Cewek 86% Cowok 14%

 

Sumber: Jawa-Pos-Metropolis.25-Maret-2018.Hal_.30

Membangun Ketangguhan.Kompas.24 Maret 2018.Hal.24

Oleh Agustine Dwiputri – Psikolog

Saya adalah seorang ayah dengan dua anak yang masih duduk di sekolah dasar. Istri mengurus anak dan rumah tangga sambil menerima jahitan di rumah. Kami tinggal di pinggiran kota Jakarta. Setiap hari saya harus berjuang hampir dua jam perjalanan sampai di kantor.

Memang saya sadari hidup pada masa kini penuh dengan situasi stres sepanjang hari. Ada saja amburadul, atasan tidak puas, rekan kerja tidak saling bantu, anak merengek ingin punya gadget, orangtua sakit, dan sebagainya. Kami berusaha bersyukur bahwa kami sekeluarga tetap dapat hidup layak secara ekonomi dan sosial.

Hal yang saya khawatirkan adalah bagaimana jika lama-kelamaan menjadi lelah dan tak bisa dihindari, tapi lebih baik dikelola. Tetapi, adakah cara lain untuk melakukan persiapan atau antisipasi agar kita tidak mudah terjebak ke dalam situasi yang berat atau dapat bertahan dengan lebih kuat menghadapi berbagai stres kehidupan? Terima kasih informasi nya.

T di B

Saudara T yang baik,

Saya setuju bahwa hidup di kota besar saat ini lebih penuh dengan stres karena sumber stresnya memang banyak. Nah, kita memang perlu mengelola stres tersebut jika sumber stresnya memang banyak. Nah, kita memang perlu mengelola stres tersebut jika sumber stresnya tak bisa dihindari lagi. Namun, kita juga harus mempunyai suatu kualitas diri agar tidak mudah terjerumus ke dalam rasa tidak berdaya. Orang yang hidupnya terus berada dalam zona nyaman, dimanja, dan tidak terbiasa menghadapi masalah tentu lebih sulit bertahan.

Empat pendekatan

Menurut Dr Eddie Murphy (psikolog berpengelaman di Inggris), ada empat pendekatan dalam mengatasi stres. Pendekatan pertama adalag mengubah situasi yang menimbulkan stres, pendekatan kedua adalah mengubah cara berpikir tentang situasi, pendekatan ketiga adalah meningkatkan berbagai strategy coping, dan pendekatan keempat adalah membangun resiliensi (ketangguhan).

Tiga pendekatan pertama merupakan teknik untuk dipraktikkan dalam menghadapi stres dan pembahasan mengenai pendekatan ini sering disebut sebagai mengelola stres, yang memang penting untuk dilakukan jika kita tidak dapat lagi menghindari sumber stres dan mengalami tekanan karenanya. Sementara pendekatan keempat adalah sesuatu yang dapat kita persiapkan dan lakukan sebelum stres potensial benar-benar dialami sehingga kita dapat emnjaga kesehatan mental tetap baik.

Pengertian

Ketangguhan dapat digambarkan sebagai kemampuan kita untuk bangkit kembali kemalangan (Murphy, 2015). Penegertian harfiah dari resiliensi adalah ‘membal’ atau melenting, umpama kita terjatuh di kasur, badan kita akan lenting lagi ke atas, tidak terenyak terus di kasur terseut. Menjadi tangguh berarti bersikap fleksibel, beradaptasi pada situasi baru secara cepat, dan berkembang dalam suatu suasana peruahan yang terus menerus. Ketangguhan akan membantu mencegah stres yang kita hasilkan sendiri dan akan sangat bermanfaat jika kita menghadapi kejadian yang diramlkan atau tak terduga yang dpaat menyembabkan kita stres berat.

Mengembangkan ketangguhan adalah suatu pengalaman yang bersifat pribadi. Orang tidak akan beraksi demngan cara yang sama terhadap kejadian kehidupan stres yang sama. Pendekatan untuk membangun ketangguhan yang sesuai bagi seseorang mungkin tidak tepat bagi yang lain.

Beberapa strategi

Lebih lanjut Murphy mengajak kita membayangkan bahwa ketangguhan itu seperti otot, yang perlu dilatih terus-menerus. Berikut saya cuplikan beberapa strategi untuk memperkuatnya.

Bersikap optimistis. Kita dapat membayangkan memakai kacamata yang secara aktik memilih optimisme. Sama seperti seseorag yang memiliki kebugaran fisik, demikian juga ada kebugaran mental. Hal ini jadi berkaitan dengan seberapa sering kita melatih otak kita.

Memberikan kembali. Apakah Anda memilki energi dan hati untuk membantu orang lain? Ada banyak kesempatan untuk menjadi relawan. Ada banyak area yang mungkin menarik bagi Anda, dari kemiskinan hingga kebersihan lingkungan.

Menjadi seorang yang spritual. Iman, doa, dan spritualitas memainkan peran luar biasa dalam kehidupan emosional beberapa orang. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa semua ini berperan penting sebagai penyangga stres. Banyak dari kita memiliki keyakinan terpendam yang bisa diaktifkan. Hal ini bisa memberikan jalan lain bagi terjadinya pertumbuhan dan eksplorasi.

Hidup bermakna dan bersemangat. Terkadang kita perlu bergerak melampaui dunia pribadi kita sendiri. Individualisme hanya menyebabkan keterasingan dan minat yang sempit. Keluar dan lampaui diri kita shingga dapa menemukan makna dan hasrat, kemudian penuhi hidup dengan hal-hal tersebut. Sebagai gambaranm seorang wanita yang mengalami depresi setelah kehilangan banyak anggota keluarga karena kanker. Dia kemudian mengumpulkan uang untuk membantu layanan rumah sakit. Dia juga berenang, berjalan, berlari, mendaki gunung, dan memotong pendek rambutnya. Hidupnya penuh dengan makna an gairah dan depresinya sekrang menghilang.

Menertawai diri. Seberapa banyak kita dapat melakukannya? Tertawa pada diri sendiri saat melakukan sesuatu yang bodoh bisa melepaskan berbagai emosi negatif. Humor dapat membantu menyembuhkan banyak orang dari trauma yang berat.

Menemukan panutan. Kita semua membutuhkan orang bijak dalam hidup orang yang dapat kita panuti dan darinyabisa memperoleh nasihat. Seseorang yang memang ada dan benar-benar tampil apa adanya. Lihatlah ke sekeliling, mereka acap kali ada lebih dekat dari perkiraan kita. Terkadang kita juga bisa memilih sebagian ciri seseorang untuk ditiru, misalnya ketegasannya, kepeduliannya, kesabrannya, dan cara melihat masalah dari pandangan yang lebih luas.

Mengadopsi pendekatan baru. Ketimbang melihat kemunduran sebagai kegagalan, atau tantangan seperti stres, lebih baik menanyakan keapda diri pertanyaan-pertanyaan berikut ini. “Apa hal baik yang bisa saya lakukan di sini? Pilihan apa yang saya punya? Adakah yang bisa saya pelajari dari situasi ini?” Apabila kita mengadopsi sikap sebagaipembelajar, pertanyaan ini mendorong penerimaan dan memberdayakan usaha kita pada berbagai langkah baru.

Memelihara persahabatan dan relasi. Memiliki jaringan pertemanan atau kekeluargaan memberi kita dukungan sosial yang sangat penting untuk memperoleh kesempatan berbahagia dan mengatasi saat-saat sulit. Jika sebuah masalah dibagi bersama, maka akan terasa lebih ringan. Kondisi ini akan mengatasi perasaan terasing, membuka peluang baru, dan menyadarkan bahwa kita tidak sendirian.

Mengendalikan diri. Tidak ada yang bertanggung jawab atas hidup kita kecuali diri sendiri. Dengan meyakini bahwa kita memiliki kendali, kepercayaan diri akan beralih ke berbagai arah yang benar. Ini berarti mengadalikan semua bagian kehidupan kita, terutama kesehatan fisik dan emosioanal. Senantiasa menangani sesuatau secara segera, tidak menunda-nunda. Tidak mengabaikan masalah kita, lakukan dan selesaikan aja hari ini. Ketika beralih dari hal yang tadinya memenuhi pikiran, kita menjadi lebih nyaman dan lebih mudah beralih ke berbagai tuntutan baru.

Selamat berlatih.

Sumber: Kompas.24-Maret-2018.Hal_.24

Cara Mencintai Pekerjaan

Setiap orang bermimpi agar bisa bekerja sesuai dengan keinginannya. Namun, kenyataanya, tidak semua orang memiliki pekerjaan idaman dan sesuai latar belakang pendidikan. Beberapa orang merasa frustasi sehingga kinerjanya tidak maksimal.

SATU atau dua dekade lalu, apabila tidak menyukai pekerjaan yang digeluti, Anda bisa langsung berhenti dan mundur. Namun, saat ini, mencari pekerjaan baru amatlah sulit.

Jalan terbaik adalah berdamai dengan keadaan dan mencoba mencintai pekerjaan. Menurut, Roberta Chinsky Matuson, konsultan sumber daya manusia, ada beberapa cara untuk bisa mencintai pekerjaan yang tidak diimpikan.

Berpikir relistis dan positif

Tak ada seorang pun yang hidupnya sempurna. Bahkan, artis sekalipun yang di televisi hidupnya tampak sempurna. Matikan televisi dan kembalilah pada kenyataan. Terkadang jatuh ke dalam situasi yang buruk tidak selalu menjadi musibah. Fokuslah pada pekerjaan.

Jangan mudah percaya

Percaya kepada seseorang itu baik, tetapi janganlah sepenuhnya. Orang-orang di sekitar Anda mungkin berkata, “Saya cinta pekerjaan sekarang.” Namun, bisa saja mereka berada di posisi yang sama dengan Anda. jadi, tetaplah fokus pada pekerjaan dan jangan mudah percaya orang lain.

Lakukan sepenuh hati

Mungkin Anda tidak mempunyai pilihan selain bertahan untuk bekerja di posisi saat ini. Namun, jangan berpikir ini akan menjadi pekerjaan terakhir Anda. mainkan kartu Anda dengan benar dan kembangkan jaringan. Kalau perlu, ambilah tugas dengan tanggung jawab yang lebih besar dan lakukan dengan sepenuh hati. Apabila tak kunjung mendapatkan promosi atau penghargaan dari perusahaan, yakinlah ada perusahaan lain yang melirik kinerja baik Anda.

“Get a lfe”

Hidup Anda akan menjadi kian membosankan jika tidak ada kegiatan lainnya selain bekerja. Libatkan diri Anda dalam kegiatan di luar kantor dan pekeraan. Kontak kembali teman-teman Anda dan sedikit bersenang-senang bersama mereka akan meringankan beban pikiran karena pekerjaan.[*/VTO]

Sumber: Kompas-Klasika.22-Maret-2018.Hal_.35

Rombak Aturan Konservatif, Butuh Peran Generasi Muda

Menuju Negara Normal, Jepang Menginterpretasi Ulang Konstitusi (2-habis)

PERDANA Menteri (PM) Jepang Shonzo Abe memaparkan generasi idela. Referensinya adlah masyarakat modern menolaknya itu pemaparan Mie Oba PhD, pengamat politik dari jepang, setelah memberikan kuliah umum di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Kamin (22/3)

Seberapa koservatifkah partai pemerintah dalam pemandangan Anda?

Sangat konservatif. Kalau boleh, saya lebih suka menyebutnya ultrakonservatif. Pandangan mereka tentang pernikaha, misalnya. Seorang perempuan yang sudah menikah harus mengubah nama keluarganya menjadi sama dengan nama keluarga suaminya. Itu konyol. Tapi, bagi pemerintah, seperti itulah yang benar.

Pemerintah memegang teguh pinsip bahwa satu nama keluarga dalam rumah tangga adalah simbol kerukunan. Penyatuan nama keluarga lambangn keutuhan rumah tangga. Sebaliknya, dua nama keluarga dalam sebuah rumah tangga hanya akan mendatangkan perpecahan. Paham yang tidak masuk akal. Hahaha

Oh ya, LDP (Liberal Democratic Party, partai berkuasa, Red) juga cenderung mendorong kaum perempuan untuk menikah dengan pria Jepang. Dengan demikian, nama keluarga mereka tetaplah Jepang. Imabauan yang menurut saya sangatlah kolot.

Bagaimanan tanggapan masyarakat  Jepang ?

Tentu saja, lebih banyak yang tidak sepakat, itu aturan yang old-fashined (kuno). Ketinggalan zaman. Tapi, kerana LDP menguasai pemerintahan, aturan itu tetap berlaku.

Apa lagi masalaha sosialnya?

Aging society. Generasi lanjut usia yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang generasi muda. Dalam bidang politik, mereka menjadi suara mayoritas. Mereka pula yang membuat LDP dan paham ultrakonservatifnya bertahan.

Sayang, generasi muda Jepang terlalu cuek. Mereka cenderung mengabaikan fenomena seperti ini. Mereka tidak peduli saat politik Japang menjadi m,iliki generasi lanjut usia. Mereka juga tidak peduli saat suara mereka tidak didengarkan atau kebutuhan mereka tidak disediakan.

Pekan lalu Jepang mengumumkan rencana untuk memajukan batas usia warga dewasa sebanyak dua tahun. Dari 20 tahun menjadi 18 tahun. Apakah itu juga ada kaitannya dengan politik?

Pastinya ada. Saya termasuk yang mendukung usul tersebut. Dengan memudakan usia warga dewasa, suara generasi muda otomatis akan bertambah. Itu bagus untuk mengimbangi suaru generasi lanjut usia yang selama ini selalu dominan. Jika jumlah warga dewasa bertmabah karena ada lebih banyak anak muda yang masuk kategori tersebut, kepentingan politik Jepang pun akan menjadi lebih muda. Sebagai pengamat politik, saya menyambut baik peluang itu. Yakni, peluang untuk mengikis paham ultrakonservatif.(hep/c10/dos)

Sumber: Jawa-Pos.24-Maret-2018.Hal_.7

Pertimbangkan sebelum Klik

KEHADIRAN media sosial membuat berita lebih mudah dibagikan. Termasuk berita yang kebenarannya perlu dipertanyakan sekali pun. “Sekarang kan banyak akun yang juga merilis beria. Padahal, ia bukan pers atau media massa. Pengikut harus cermat sebelum me-repost atau menybarkan, “tegas Go Lisana. Dia menekankan, setiap pemilik aku perlu menecek kebenaran berita. Jika isi berita hoax dan tidak sesuai dengan banyak sumber berita lain, tentu tidak perlu disebar. “Cuekin saja. Tanyakan ke diri, pentingkah disebar? Apakah dia berkepentingan dengan berita itu,”lanjut dosen yang mengajar per 2003 tersebut. Go Lisana menjelaskan, tidak menanggapi sebuah unggahan yang mengarah hoax atau perundungan adlah opsi terbaik.

Sebab, ada hukum aksi-reaksi ketika sebuah kinten diunggah. Jika unggahan kontroversial itu ditanggapi, rekais pelaku akan menjadi-jadi. “Ibartnya, seperti api disriam minyak gas. Makin ditanggapi, maka hoax atau bullying iyu makin menjadi viral,” paparnya. Di samping itu, dia mengimbau pmilik berhati-hati dalam menyebarkan konten yang dianggapi berita.

Pakar hukum bidang pencucian uang dan cyber crime itu mencontohkan mengunggah video orang gila yang dipukuli massa. “Memang, aksinya mungkin meresahkan, tapi apakah perlu sampai dihakimi? Apa perlu diviralkan? Apakah tidak cukup dilaporkan saja agar dapat bantuan dinas berwenang,”beber Go Lisana.

Hal serupa diungkapkan Phebe. “Pikirkan pula jangka panjangnya. Si pemukul bisa jadi bukan pahlawan, tapi justru pelaku penrundungan,” tegasnya. Elbih lanjut, dia mengimbau agar tidak mudah mengunggah informasi yang didapat. Baikyang menyagkut orang terdekat maupun tokoh publik. Misalnya foto yang menggambarkan artis tengah berjalan-jalan dengan orang lain, baik keluarga, kerabat, maupun fans. “Apalagi kalau penyampaiannya tidak disertai konfirmasi konfirmasi kepada yang bersangkutan,” imbuh Phebe.(fam/c19/nda)

Sumber: Jawa-Pos.27-Maret-2018.Hal_.9

Trend 2018: ZEN Lifestyle

Annisa Munaf (INDEPENDENT OBSERVER)

The word “Zen” is the Japanese way of pronouncing the Chinies word “Chan” which turns out to be the Chinese way of pronouncing the Sanskrit word “Dhyana”, which translates as “meditation”. What is your Zen? Zen is total state of focus that combines the perfect balance between mind and body. Zen is a way of being’ seeing things without misrepresentation created by your own bias. In 2018, people are starting to adapt the Zen lifestyle. People have becoming more aware of having peace-of-mind in their daily lives.

Most of us are living in a fast-paced world, working from 9 a.m. to 5 p.m. every day with loads of jobs that need to be done, getting used ti being stuck in a traffic jam from home to the office and vice versa, and when you reach home, all you want to do is just clean up and rest. For a few, they make time to relax in between those busy hours and enjoy the beauty of a sunset. In either case, it is possible to lose the propect if the simple insight in life and fall into several toutines that keep us from achieving harmony. Here are 5 tips you can act upon to make your way of life into a zen lifestyle.

  1. Stay positive and do not allow any negative energy inside of you. Self pity or balming yourself will not raise your mood. Let’s say that you are experiencing an unhappy day at work or in your persoanl life;do not let it take over your day and just simply accept iy, feel it, and move on. Instead of blaming, ask yourself peacefully, “What lesson can be learned here?” It will be way healthier if you also add yoga into your daliy routine. This exercise will help you to meditate and better your mind and body.
  2. Start appreciating people and things around you. Everyone and everything is connected; emphatize with other people and realize that you are not the only one who is stressed and having a bad day; be grateful of what you have and take time to truly cherish the world around you, appreciating small things that come to you.
  3. Re-decirate your home with earthy colors such as white, grey, shades of beige, and add more plants to get the sense of relaxation and calmness. Use wooden flooring or parquet and place sftness under your feet. Make a room in your own time to relax with a Zen style decoration like simple and clear lines; try avoiding complicated detail and excess ornamentation.
  4. Surround yourself with natural scents. Whether what you put on your body, home, odor spray, on your working table, or in your car, enchance scents like lavender, jasmine, orange blossom, rosewood, patchouli, amber, musk, sandalwood, and sage. Those scents are really calimng and helping you to feel at peace.

5 Accept who you are by not worrying too much about what other people think of you. A lot of people try so hard to fit in by becoming something that they are not or sacrificing good morals just in order to be accepted by the group. Instead, realize what makes you happy bu being comfortable in your own skin.

There are a lot of simple steps you can endeavor to create a Zen lifestyle. These five are not the only ways, but you can start from implementing these five steps into your lives. Be change. Like Socrates once said, “Wisdom is doing it.”

Sumber: ZEN-Lifestyle.Independent-Observer.9-15-Maret-2018.Hal_.20

Tingkatan Kompromi

Suatu saat Anda melakukan suatu kompromi dengan istri tercinta.  Anda diajak sang istri ke suatu perjamuan terbatas, grup sang istri, suatu grup sosial yang biasanya hanya dihadiri ibu-ibu.  Kali ini, Anda diajak karena kali ini semua pasangan diajak.  Hari itu adalah hari ulang tahun S klub sosial mereka.

Anda dengan ogah-ogahan, Anda katakan ikut dengan syarat, Sabtu Minggu mendatang akan nge-gouwes dengan kawan-kawan ke luar kota.  Istri setuju.  Terwujudlah kompromi yang saling menyenangkan.  Jadilah suatu definisi, “kompromi adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak mendapatkan keinginan masing-masing”.

Yang namanya kompromi, boleh saya katakan, adalah pelumas roda kehidupan.  Bertaburan dan bertebaran dalam pelbagai sisi kehidupan manusia.

Itu terjadi dalam hubungan suami istri, orang tua anak, sejawat di kantor, atasan bawahan, pembeli dan pembeli, pedagang satu dengan lainnya, pemerintahan suatu negara dengan negara lainnya.  Kompromi adalah roda kehidupan.

Kata kompromistis, yang mengacu kepada para pelakunya, bisa ditafsirkan sebagai sebuah predikat yang positif, bisa juga negatif.  Hal itu masalahnya.  Kompromi ucapan selamat hal selalu layak dipuji.  Malah, kompromi bukan suatu hal yang nista.

Mari kita lihat, seandainya Anda adalah seorang penganut paham “berkompromi dalam segala hal”.  Anda, dalam hal ini adalah seorang yang ultrakompromistis.  Apa saja yang Anda miliki dapat dipertukarkan, dengan landasan kompromi.  Lawan negosiasi Anda, dengan segala permintaannya, Anda penuhi.

Pertanyaan untuk ini adalah, “Bila Anda secara konstan melakukan kompromi dalam segala bidang kehidupan Anda, bagaimana caranya agar Anda dapat meraih potensi terbaik Anda? ”

Bila Anda seorang mahasiswa, dan Anda selalu kompromi terha- dap ajakan pacar untuk menonton, misalnya padahal ujian kuliah terbentang hari esok dan sepekan ke depan?

Hidup memang soal soal hitam putih.  Hidup juga terdiri atas nuansa yang berjenjang.  dari putih hingga abu-abu, dan warna-warna lain hingga kemudian menuju ke arah hitam pekat.

Namun, bila kita tak memiliki suatu pijakan yang jelas antara tidak dan tidak, kita adalah layang-layang yang mengembara tanpa arah tujuan.  Kita “ngeli dan sekaligus keli”.  Kita menghanyutkan diri dan akhirnya terhanyut.  Kita akan tenggelam ke dalam dasar perairan yang tak jelas rimbanya.

Jelas pula, bila sikap itu terus terus menerus, persepsi pun akan timbul terhadap Anda sebagai orang yang lemah.  Seorang yang tak berpendirian.  Seorang yang tak berprinsip.  Tak berkarakter.  Seorang yang pagi adalah tempe, dan sore menjadi kedelai.  Rencana seorang yang plin.  Kata Iron Lady, Margareth Thatcher perihal ini, “Bila Anda telah men- set untuk menjadi orang yang masuk, Anda harus Bersiap-siap untuk berkompromi, dalam segala kompromi itu baik, sepanjang di- segala konsekuensinya, segala baik -buruknya.  Kompromi itu sehat asalkan tak memperjualbelikan kehormatan, martabat, dan integritas.

Dalam pepatah Jawa, mereka ini adalah orang yang sudah pandai mewujudkan falsafah “ngono yo ngono, ning ojo ngono” alias begitu ya begitu jangan begitu.  Dalam kasus ini, kompromi itu baik, tetapi jangan berlebihan.  Demikianlah, segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik adanya.

Pada sisi ekstrim yang lain, tiada dikenal apa yang disebut sebagai kompromi.  Target kami negosiasi. Target kami adalah berakhirnya sistem apartheid. Dalam soal ini kami tak mengenal kompromi, “kata Oliver Tambo, Presiden Kongres Nasional Afrika manakala gejolak perlawanan apartheid semakin membuncah di Afrika Selatan.

Pada Perang Dunia II, Jerman di bawah Hitler berhasil menaklukkan banyak negara Eropa tetapi gagal menundukkan Inggris yang dipimpin oleh Winston Churchill.  Dia kokoh memegang prinsip anti komprominya, bahkan ha- rus bertikai dengan rekan politikus senegaranya.

Churchill pun terkenal dengan pidatonya yang menggelegar, ajakan bangsanya untuk “Never … never give up !!!”  Jangan pernah menyerah !!!

Moralitas kompromi terdengar kontradiktif.  “Kompromi, pada umumnya adalah pertanda kelemahan, gejala gejala ke arah kekalahan. Orang-orang yang kuat tak akan berkompromi, dan berkata berkata, hal-hal prinsip tak boleh dikompromikan,” kata Andrew Carnegie.

Semuanya berpulang kembali ke kita.  Mau memilih sikap pertama, kedua, atau ketiga.  Masing-masing ada plus dan ada minusnya.  Demikianlah, kembali hakikatnya, hidup adalah soal pilihan.  Silakan pilih.

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.11-Maret-2018.Hal_.2

Sjamsiah Achmad tentang Ketulusan

Oleh Krist Poerwandari (Psikologi)

Tidak banyak figur yang kata dan perbuat untuk dapat menjadi teladan. Dari yang sedikit, tak diragukan, sjamsiah Achmad, hari ini berlari jadi ke-85, adalah salah satunya. Satu frase yang sangat sering beliau tekankan adalah, “kerja sama yang adil, setara dan tulus.”

Lahir di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, 10 Maret 1933, ia memulai pekerjaan sebagai guru, lalu jadi peneliti, dan meneruskan pendidikan di Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi Sekretaris Duta Besar RI untuk Rusia. Sekembali ke Indonesia ia diangkat menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional LIPI, berlanjut bekerja cukup lama di Markas Besar PBB di New York dan Wina. Kembali ke Indonesia, beliau teruk sibuk hingga di usianya sekarang.

Menilik ke kamus, tulus itu bermakna sungguh, bersih hati, jujur, tidak pura-pura, tidak serong ikhlas. Berdekatan makna dengan rela, yang artinya tidak mengharap imbalan, dengan kehendak atau kemauan sendiri, mengizinkan, memperkenankan.

Meminimalkan kesalahan

Karena tulus adalah ikhlas, rela, bersih hati, Sjamsiah yakin bahwa untuk dapat tulus, perlu mengerti dulu yang sebenarnya-benarnya untuk meminimalkan kesalahan yang merugikan. Bagaimana caranya? Mendengar. “Kita perlu mendengar agar paham suatu masalah sebelum berkomentar. Tidak apa bila dinilai sedikit terlambat. Kadang orang tidak tahu ujung pangkalnya, sudah komentar, main kasih solusi. Itu sangat merepotkan.”

Banyak membaca adalah kewajiban. Ia heran dengan cukup banyak orang yang harus berdiskusi dan diberi wewenang untuk mengambil keputusan tentang suatu kebijakan, tetapi bahan tidak membaca draf kebijakan, tidak paham kesejarahan perkembangan draf kebijakan dan tidak menguasai data secara memadai.

Tulus juga berarti berani. Ia bercerita mengenai suatu forum di PB di pertengahan 1980-an, ketika menyusun Health for All. Ada seorang laki-laki wakil dari sebuah negara yang ribut menentang upaya peningkatan kualitas kesehatan reproduksi perempuan dengan berkeras: “I really don’t undeerstand what else di women want!!”, Kata Sjamsiah: “Waduh saya keki banget. Karena mewakili Markas Besar PBB, kami sebenranya tidak boleh bicara. Harus berpegang pada tugas menuliskan saja apa yang diinginkan oleh negara-negara yang ada.”

“Namun , saya tidak tahan. Dalam forum itu semua orang bicara panjang mengenai kematian ibu, berbagai oersoalan kesehatanperempuan, kecacatan, perkawinan anak, dan segala macam. Berarti dia tidak mendengarkan, kan? Jadi, saya minta izin pada chair of the meeting, bolehkan saya memberi penjelasan? Saya sampaikan kembali data dari Unicef, WHO mengenai kondisi perempuan dan anak, dan mengapa.”

“Dan, saya bilang: ‘jangan lupa semua orang lahir dari sini (ia menunjuk perutnya)’. Siapa pun kita, bangsa bangsa apa pun, paham apa pun yang diyakini, semua orang dibesarkan dalam perut perempuan, dan menyusu pada perempuan. Perempuan adalah sumber kehidupan, dan kalau sumber hidup ini tidak berkualitas-by logic medically, psychologically, mentally-what do you expect for the next generation? So it is just too important. Begitu penjelasan saya.” Semua orang terkejut dengan interupsi Sjamsiah, dan ramai bertepuk tangan untuk keberanian dan penjelasannya yang telak.

Ketulusan itu mendasari segala-galanya. Membuat Sjamsiah bersedia menunggu untuk membaca dan mendengar terlebih dulu, tetapi juga menuntun untuk teguh dan tegas bicara bila menemui hal-hal yang berjalan melenceng.

“Harus jadi orang baik”

Beliau menekankan: bukan hanya kesetaraan, harus juga ada konsep keadilan, karena yang diperjuangkan bukan untuk menjadi sama. Bila sama, apa ukurannya? Standar apa yang digunakan? Keadilan itu mensyaratkan ketulusan, kesediaan untuk memahami bahwa yang satu dan yang lain memiliki perbedaan. Dan, perbedaann itu harus dihormati, bukan menjadi alasan untuk mendiskriminasi.

Ia sesungguhnya bicara mengenai kemanusiaan seutuhnya, bukan hanya tentang relasi perempuan dan laki-laki. Ketulusan sangat penting untuk memungkinkan saling bertoleransi dan saling tahun diri. Katanya: “Laki-laki menghargai perempuan, perempuan menghargai laki-laki, satu kelompok dan yang lain saling menghargai. Tidak lagi bicara mayoritas-minoritas, mana yang lebih tinggi dan lebih rendah. Anak menghargai orangtua, orangtua menghargai anak”.

Bagi Sjamiah, di atas HAM ada nilai kemanusiaan, dan itulah yang akan membuat kita tidak hanya sibuk dengan HAM ada nilai kemanusiaan, dan itulah yang akan membuat kita tidak hanya sibuk dengan HAM kelompok sendiri, tetapi juga HAM orang lain dan kelompok lain. Dapat dipahami bila ia menekankan, “perlu selalu mengawaasi perilaku diri bukan hanya sibuk mengevaluasi pihak lain.”

Ia kehilangan ibu yang meninggal di usia sangat muda (“Beliau belum haid ketika dinikahkan dengan ayah saya, mungkin kelelahan melahirkan dan mengurus tujuh anak di usia muda”). Dari mana ia demikian teguh dengan pandangannya yang tidak sekolah dan buta huruf merawatnya, berulang memberi nesihat, “Harus jadi orang baik.”

Sjamsiah kecil penasaran, apa yang dimaksud dengan “jadi orang baik” itu. Jawaban yang disimpulkannya dari ajaran tantenya: “Sabar, jujur, tidak berbuat jahat. Hormat pada orang lain”. Sementara dari ayah: “Disiplin, jujur, peduli orang kecil.”

Ketulusan sekaligus mengajak peduli, sabar,jujur, rendah hati, bersedia dengar, disiplin, kerja keras, berani, dan hidup utuh-seimbang. Mengingatkan untuk selalu memikirkan orang lain juga, bukan hanya diri atau kelompok sendiri. Tulisan ini sekadar berbagi bagian kecil dari banyak pembelajaran yang dapat dipetik seorang murid. Selamat ulang tahun ibu dan banyak terima kasih.

Sumber: Kompas.10-Maret-2018.Hal_.24

Persahabatan Generasi Milenial

Persahabatan pada masa lalu, era 2980 berbeda dengan model persabatan yang terjadi pada masa kini atau pada generasi milenial. Secara istilah persahabatan tidak mengalami perubahan. Akan tetapi beraga, proses menerjemahkan arti persahabtan saat ini berbeda dengan era orang tua generasi milenial tersebut.

Istilah persahabatan atau pertemanan perupakan istilah yang menunjukkan perilaku kejra sama yang saling mendukung antara dua atau lebih orang. Dari sitilah tersebut diketahui bahwa persahabatan memiliki arti yang luas di mana perilaku yang ditunjukkan tentunya akan beragam, dapat berupa akticitas, kegiatan dalam perilaku yang saling menolong dan mendukung satu sama lainnya.

Bagaiaman bentuk persahabatan mereka saat ini? Apa aktivitas dan kegiatan yang mereka lakukan? Masih pentingkah peran teman dan sahabat bagi generasi milenial? Kalau penting, perilaku apa saja yang mereka inginkan dari temannya? Begitu beragam pertanyaan yang akan dimunculkan karena melihat para remaja generasi milenia lebih banyak melakukan aktivitasnya melalui media sosial.

Beberapa elemen dari persahabatan, menurut Olson & DeFrain (2006), di antaranya kesenangan, keperecayaan, dan penerimaan. Tiga hal ini terlihat sangat berkaitan erat pada masa remaja dan bentuk pertemanan yang dilakukan mereka.

Kesenangan menjadi faktor penting dalam pershabatan. Hal ini karena sebagian besar waktu remaja adlaah elakukan kegiatan bersama-sama yang mengarah kepada aktivitas memenuhi kesenangan mereka. Kegiatan tersebut di antaranya bermain bersama, jalan-jalan dan nonton bersama, olaraga bersama dan beberapa kegiatan lain yang mengarah kepada aktivitas yang menyenangan buat mereka sebagai remaja.

Perbedaan aktivitas yang dilakukan gerasi milenial berbeda jika dilihat dari aktivitas ‘fisik’ kebersamaan. Seperti generasi sebelumnya, kegiatan atau aktivitas fisik yang dilakukan, seperti makan dan jalan bareng dengan keceriaan saling berinteraksi dengan tetap melakukan tatap muka secara langsung.

Sebaliknya, generasi milenial, cenderung aktivitas mereka terlihat dari aktivitas melalui media sosial yang selalu up to date, seperti meng-‘upload’ foto kegiatan kebersamaan saat makan dan atau kegiatan lainnya yang menunjukkan aktivitas yang menyenangkan. Segala kegiatan mereka dalam sekejap dapat diakses dan tersebar melalui media sosial.

Elemen persahabatan lainnya adalah kepercayaan, yang merupakan kunci dalam kelanggengan pertemanan mereka. Setiap remaja pasti akan sangat senang jika sesama mereka saling memberikan kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan, dalam persahabatan usia remaja, menjadi utama dari generasi terdahulu hingga ke generasi milenial saat ini. Soal kepercayaan tetap menjadi sangat penting bagi mereka. Sekali salah satu dari remaja tersebut merasa dikhianati oleh teman sebayanya akan berdampak pada kelangsungan persahabatan mereka.

Elemen lainnya adalah penrimaan. Memnentuk pola perilaku yang saling meonolong, membantu dan tidak kepedulian satu sama lain itu tidak mudah. Sudah pasti akan melalui proses dan tahapan sehingga dua orang yang dalam persahabatan timbul konflik ataupun ada argumen untuk mencapai suatu kesepakatan atau pengambilan keputusan.

Apabila hubungan mereka tidak dilengkapi dengan saling memahami dan pengertian makan hubungan persahabatan tentu tidak akan dapat terwujud. Oleh karena itu, . salh satu elemen penting dalam persahabatan adalah penerimaan. Dalam persahabatan, teman saling menerima satu sama lain dan dalam keadaan apa pun (baik suka maupun duka) mereka akan terus saling mendukung.

Kegiatan ‘bersama’ yang mereka lakukan terasa berbeda dari generasi sebelumnya. Perbedaan itu terlihat dari ‘ketenangan’ alias tanpa suara karena semua berdialog melalui gadget.

Generasi milenial merupakan generasi yang telah dimanja olhe kecanggihan teknologi yang semakin marak berkembangnya. Remaja semakin canggih berselancar dan berkomunikasi melalui gadget tersebut.

Peran gadget sangat tinggi dalam kehidupan remaja milenial ini. Sepertinya, hidup remaja saat ini tidak terlepaps dari gedget.

DUA SISI

Ada sisi positif dan negatif yang terjadi dalam persahabatan remaja saat ini. Sisi positifnya memang mereka dapat terkoneks dengan banyak bentuk pertemanan atau persahabatan.

Akan tetapi, ada sisi negatif jika kecenderungan ketergantungan remaja pada gadget. Remaja yang bergantung pada gadget akan mengalami hambatan saat dia melakukan interaksi sosail dan komunikasi dengan lingkungan ‘nyata’. Inetraksi dan komunikasi bertatap muka yang mereka gunakan adalah dengan menampilkan ikon atau ‘emoticon’ atau simbol yang terdapat di gadget mereka. Dalam persahabatan, terjadi ketidakjujuran sosial. Artinya, simbol yang ditunjukkan dalam persahabatan sifatnya semu, dan terkadang tidak sesuai dengan apa yang benar-benar terlihat bila dilakukan secara langsung.

Bagi remaja saat ini, tidak mudah membina dan mempertahankan hubungan persahabatan. Perbedaan pendapat dalam persahabtan merupakan hal yang wajar dan ini tentu akan terlihat kualitas dari persahabatan mereka. Rose (2002) menyebutkan bahwa kualitas persahabatan terbaik terlihat dari dukungan dan cara remaha mengungkapkan dirinya pada temannya jika mereka dihadapkan pada masalah.

Istilah remaja adalah teman sebagai tempat ‘curhat’. Agar dapat terus menerus menjalun tali pershabatan, remaja generasi milenial perlu untuk tetap mempertahankan nilai=nilai speerti kepercayan dan penerimaan.

 

Sumber: Bisnis-Indoensia-Weekend.18-Maret-2018.Hal_.10