Paradoks Pendidikan Karakter.Kompas. 20 Desember 2017. Hal. 6

Oleh: Nasrullah Nara/ Ester Lince Napitupulu

Tahun 2017 dunia pendidikan di Tanah Air diwarnai fenomena paradoksal, khususnya berkait aspek mentalitas. Di satu sisi, digelorakan program penguatan pendidikan karakter. Di sisi lain, pelanggaran etika dan norma di lingkungan pendidikan terus saja terjadi.

Sempat membuncah rasa bangga di hati ketika Oktober lalu terdengar kabar seorang mahasiswa asal Yogyakarta meraih pencapaian tungkat dunia di Belanda. Sang mahasiswa, Dwi Hartanto, yang tengah mengambil program doctor di Tu Delft, mengaku sebagai asisten professor, dipercaya ikut merancang Satelite Launch Vehicle di “ Negeri Kincir Angin” tersebut. Belakangan, semua pengakuan itu hanya berdasar klaim subyektif diri yang bersangkutan.

Pencapaian semu Dwi seperti melengkapi “mafia” karya ilmiah di beberapa kota di Tanah Air yang melibatkan alumni dan dosen, seperti biro jasa skripsi, tesis, dan disertasi. Kasus seperti ini antara lain marak di “kota pendidikan” Yogyakarta, Palangkaraya, dan Jakarta.

Belum lama berselang, rasa miris pun mengiris hati tatkala mendengar perlakuan yang diterima MF (18) di Universitas Gunadarma, Depok, oleh teman-temannya. MF yang berkebutuhan khusus menjadi korban perundungan oleh rekannya sesame mahasiswa.

Apa yang terjadi di tingkat pendidikan tinggi itu setidaknya bisa jadi mengonfirmasi tidak berjalannya pembentukan watak dasar yang positif di tingkat pendidikan dasaar dan menengah. Bulan Juli lalu, 14 siswa terlibat aksi kekerasan perundungan terhadap seorang siswa di Mal Thamrin City, Jakarta. Di ruang publik itu, korban SW (12) dijambak, lalu diminta bersujud di hadapan temannya. Kasus diketahui setelah video kekerasan itu menyebar melalui media sosial.

Selanjutnya, awal November, di sebuah SMK swasta di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi perkelahian antar pelajar di ruang kelas. Memang tidak sampai menimbulkan cedera serius, tetapi peristiwa itu mengundang keprihatinan karena aksinya direkam dan videonya kemudian menyebar. Dikhawatirkan tayangan video yang viral itu menginspirasi para siswa lainnya untuk melakukan hal serupa.

Begitulah, pengakuan publik terhadap pencapaian ataupun aksi seolah “dikejar” dengan berbagai cara. Tak peduli itu adalah prestasi yang murni sebagai capaian atas sebuah proses atau hanya capaian semu belaka. Tak kalah naifnya aksi kekerasan yang dalam norma-norma sosial-budaya dianggap tidak terpuji malah disebarkan melalu peranti digital – yang kini ada di dalam genggaman hampir setiap orang. Seolah pengakuan atas harkat dan aib tidak bisa dibedakan lagi satu sama lain.

Kasus-kasus yang menghebohkan tersebut semoga tidak menenggelamkan sederet prestasi pelajar dan mahasiswa yang  benar-benar berproses meraih penghargaan di ajang olimpiade bidang sains dan seni tingkat internasional. Juga semoga tak meminggirkan keberhasilan pelajar dan mahasiswa mengembangkan aplikasi teknologi digital untuk menjawab kebutuhan masyarakat

Program penguatan karakter

Bagaimana upaya mengatasi fenomena itu? Tampaknya upaya yang ditempuh untuk mengatasi persoalan “saling berkejaran” dengan kasus yang mencuat. Belum lagi, acap kali upaya mengatasi persoalan tak lepas dari riuh rendah perdebatan yang justru berkutat di teknis ketimbang substansinya. Sejak awal 2017, salah satu isu yang menyedot perhatian publik adalah pendidikan karakter – di samping isu vokasi dan Kartu Indonesia Pintar. Program penguatan karakter menuai polemik lantaran ditautkan dengan kebijakan menambah jumlah hari di sekolah, dari lima menjadi enam hari per minggu.

Polemik akhirnya mereda setelah Presiden Joko Widoodo menerbitkan Peraturan presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Presiden Joko Widodo pada pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2017 menyatakan, di banyak sendi kehidupan terjadi pergeseran nilai-nilai positif bangsa. Aspek karakter paling penting karena dii era sekarang ancaman perang tak lagi muncul secara fsik aau dipicu perebutan wilayah. Ancaman perang yang perlu diwaspasi justru muncul di bidang ideologi, ekonomi, dan sosial budaya.

Di tataran publik, program penguatan karakter sempat ramai di polemikkan karena ditautkan dengan kebijakan hari sekolah. Sejumlah kalangan mengira aturan delapan jam bersekolah berarti dari pukul 07.00 hingg 15.00. Padahal,yang dimaksud adalah delapan jam pelajaran, yakni 45 menit per jam.

Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhafjir Effendy menegaskan bahwa hari belajar menjadi opsional. Bisa lima hari (Seninn-Jumat), bisa juga tetap enam hari (Senin-Sabtu).

Kementrian Pendidikan dan Kebudayan yang mendorong agar beban kerja guru delapan jam per hari, tidak hanya ntuk memperhatikan pengembangan karakter siswa. Kegiatan pembelajaran tidak penuh dengan delapan jam di sekolah, tetapi di integrasikan dengan kegiatan siswa di luar sekolah, baik di keluarga maupun di masyarakat.

Yang utama, bagaimana guru, sekolah, dan orangtua murid (masyarakat) terus berkolaborasi dalam membentuk karakter yang baik, mencakup aspek religiuositas, kemandirian, nasionalisme, kegotongroyongan, dan integritas.

Lima aspek itu acap kali dijabarkan lebih jauh untuk membentuk pribadi yang disiplin, pekerja keras, menghargai proses, mandiri, dan tangguh menghadapi tantangan era global di abad-21.

Contoh baik

                Upaya penguatan pendidikan karakter yang digalakkan pemerintah tak cukup hanya dengan menerbitkan peraturan presiden. Tak kalah pentingnya adalah keteladanan atau contih riil, mulai dari elite politik, aparatur Negara, pemuka agama, guru, hingga orangtua siswa.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter hendaknya dimaknai sebagai pembuka ruang untuk sinergi antara sekolah dan komunitas yang bergerak dalam pengembangan nilai-nilai luhur.

Pembangunan karakter hendaknya berfokus pada pembentukan mentalitas siswa dengan berbagai nilai positif khas bangsa Indonesia. Karakter yang kuat diperlukan agar siswa tak kehilangan jati diri di era persaingan global. Pembangunan karakter dianggap penting di tengah melunturnya kualitas interaksi sosial dan pudarnya contoh-contoh baik di tingkat elite.

Menutup tahun 2017, ada baiknya kita menatap tahun 2018 dengan sejumlah harapan. Kiranya di ujung terowongan yang gelap ada cahaya yang mencerahkan. Optimisme muncul dengan melihat tumbuhnya inovasi pembelajaran dari pelaku utama pendidikan: guru dan siswa.

Guru-guru kini mengembangkan inovasi pembelajarann yang menyenangkan. Untuk guru-guru prasekolah dan TK, pendidikan karakter dilakukan melalui mendongeng. Cerita diambil dari buku atau pun dikarang sendiri oleh guru. Tokoh-tokoh di dalam cerita diupayakan dari siswa. Hal ini agar siswa merasa menjadi bagian dari cerita.

Mempersiapkan guru sebagai rujukan keberagaman sehingga dapat menjadi contoh dalam pembentukan sikap toleran ditempuh Sekolah Guru Kebhinekaan Lembaga ini ingin menghimpun sosok-sosok guru yang dapat menyemai benih keberagaman dan cinta damai di ruang kelas. Para guru dibiasakan berkunjung ke rumah ibadah agama yang berbeda.

Model pembelajaran bisa juga muncul dari inisiatif siswa. Ragamuda, misalnya, dirintis oleh pelahar SMA Al-Azhar di Jakarta Selatan dan Kolase Kanisius di Jakarta Pusat untuk menyebarkan pesan positif keberagaman di media sosial. Inisiatif tersebut mendorong pelajar dari sekolah lain untuk berpartisipasi dengan menggunakan tagar yang sama saat mengunggah konten di media sosial, yakni #PLURALisME

Inisiatif yang dilakukan Juni lalu membuat dua sekolah itu bisa terlibat dalam Rangkul, sebuah proyek kolaborasi lintas kultur yang dirintis Departemen Luar negeri Amerika Serikat. Di sana mereka mendapatkan pelatihan kepemimpinan dan produksi film bertema perdamaian dan toleransi.

Kisah-kisah pradoksal di awal tulisan ini kiranya juga tak lantas menerpikan tantangan besar, yakni tergerusnya minat baca di era digital. Ini penting karena literasi adalah buka cakrawala pikir yang luas dan menjadi jalan untuk menyerap nilai-nilai kebajikan dari berbagai pihak.Literasi yang kuat dengan sendirinya pula dapat membentengi diri dari terpaan berita bohong atau hoaks. Pribadi yang tangguh dengan segudang informasi pembanding tidak mudah terombang-ambing – apalagi terjerumus – oleh paham radikalisme dan kecenderungan merasa benar sendiri.

Pemikir kebangsaan Yudi Latif, dalam sebuah kesempatan, memaparkan betapa pentingnya kebiasaan membaca diperkuat semenjak pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar harus memberikan perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis dan meneliti dalam kerangka budi pekerti.

Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjdai kecakapan dungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.

Budaya baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan pesan yang serba ringkas  dan instan. Tanpa tradisi membaca yang kuat, akan sulit bagi generasi baru memahami da mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif  (filsafat, ideology, sejarah, agama, dan sastra). Padahal pengethauan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.

Konteks kekinian

Pendidika karakter dalam konteks sekarang sering disebut bertujuan menciptakan generasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa pancasila dan karakter yang baik. Generasi cerdas berkarakter ini dalam rangka menyambut 100 tahun Indonesia merdeka. Juga dalam upaya membuat bonus demografi yang dinikmati bangsa ini benar-benar sebagai berkah, bukan sebagai bencana.

Sejatinya tak ada yang meolak pendidikan karakter penting dilakukan di sekolah. Sebab, esensi pendidikan bukanlah pengajaran belaka. Di atas segalanya adalah pendidikan nasional harus membentuk peserta didik menjadi manusia utuh, baik nalar maupun budinya. Apalagi di zaman now  yang serba digital, sumber belajar berlimpah di dunia maya. Seseorang dapat terhubung langsung pada beragam sumber belajar secara gratis lewat platform dalam jaringan.

Eksistensi sekolah sebagai tempat belajar suatu saar dipertanyakan. Jika hanya identik dengan mentransfer ilmu, persekolahan itu akan ditinggalkan. Sebaliknya, sekolah akan berkembang jika mampu memadukan penguatan kecakapan yang lentur dan tangguh sesuai dengan kebutuhan zaman.

Sumber: Kompas. 20 Desember 2017. Hal 6