Teknologi untuk Anak Gaul Itu Pegang Gadget

Teknologi untuk Anak_Gaul itu Pegang Gadget. Surya.16 Agustus 2015.Hal.3

Melihat anak memegang tablet, smartphone, laptop, banyak orang bangga. Anak yang melek gadget mejadi bagian dari kemajuan zaman.

Memegang smartphone dan sibuk mengirim pesan menjadi kebiasaan anak-anak. Selama masih bisa memegang smartphone, mereka tampak anteng. Orang tua juga merasa aman karena posisi anak masih dapat dilihat.

Gadget menjadi kebutuhan baru bagi anak. Menurut Danny Oei Wirianto, C0-Founder dan CEO Mindtalk, pelajar memiliki ketergantungan pada gadget karena mereka tumbuh di antara perkembangan gadget.

“Tidak heran bila mereka merasa harus memiliki gadget baik sebagai pemenuhan kebutuhan untuk tugas sekolah maupun sebagai penanda agar diterima di lingkungan mereka,” kata Danny.

Dampak positif gadget salah satunya adalah membantu perkembangan fungsi adaptif anak, yaitu kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitar dan perkembangan zaman. Jika sekarang muncul gadget, maka anak pun harus tahu cara menggunakannya. Anak harus tahu fungsi gadget dan harus bisa menggunakannya karena salah satu fungsi adaptif manusia zaman sekarang adalah harus mampu mengikuti perkembangan teknologi.

Akan tetapi, fungsi adaptif juga harus disesuaikan dengan budaya dan tempat seseorang tinggal. Jika anak tinggal di desa dan gadget menjadi barang langka, wajar jika anak tidak tahu dan tidak mengenal gadget. Jika lingkungannya kental dengan penggunaan gadget, ia akan belajar dengan cepat untuk menguasainya.

Dilihat dari tahapan perkembangan dan usia anak, penganalan dan penggunaan gadget bisa dibagi dalam beberapa tahap usia. Orang tua dapat mengenalkan gadget pada anak mulai usia 4-5 tahun.

ANAK BUTUH BERGERAK

Gadget dapat dijadikan alat belajar seputar pengenalan warna, bentuk, dan suara. Akan tetapi, yang utama sebenarnya bukan gadget itu melainkan peran orang tua. Gadget hanya sarana untuk mengedukasi anak.

Dari aspek interaksi sosial, perkembangan anak-anak usia dibawah 5 tahun sebaiknya lebih kearah sensor-motorik. Anak tetap harus bebas bergerak, berlari, memegang, ,erasakan kasar-halus.

Orang tua dapat memberi kebebasan saat anak memasuki usia praremaja. Gadget menjadi bagian dari proses belajar dan sebagai fungsi jaringan sosial mereka. Mereka sudah dapat menggali informasi dari lingkungan. Akan tetapi, orang tua tetap menjadi operator.

Pembatasan waktu tetap harus diberlakukan seperti ketika di sekolah tidak boleh membawa ponsel. Itu agar anak terbiasa berdisiplin. Jika sejak kecil sudah terbiasa mengatur waktu untuk memegang gadget, biasanya mereka dapat menggunakan jadwal itu ketika remaja.

Ketika anak sudah familiar dengan gadget, seharusnya orang tua mengimbangi. Jika tidak, orang tua tidak akan tahu apa yang dilakukan anak ketika menggunakan perangkatnya itu. Kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan terimbas negative perlu di imbangi dengan kemauan belajar tentang gadget yang dibawa anak.

Kadang-kadang, begitu khawatirnya akan dampak negative itu membuat orang tua tidak mau mengenalkan anak pada gadget. Mungkin saat ini hal itu bisa dilakukan, tetapi kelak anak akan bersentuhan dengan teknologi.

Supaya tidak tertinggal, sebaiknya orang tua perlu mengenalkan gadget sebagai salah satu teknologi canggih yang juga dapat membantu anak untuk berimajinasi sambil bermain ketika menggunakan gadget.

Menurut elisabet Widyaning Hapsari, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, orang tua sebaiknya memberi pengertian kepada anak mengenai Batasan dalam menggunakan ponsel atau alat komunikasi lainnya. Penggunaannya tetap perlu disesuaikan dengan usia dan lingkungan disekitar anak, misalnya permainan edukatif yang sesuai dengan usianya.

“biar bagaimanapun, anak tetap perlu untuk beraktivitas dengan lingkungannya. Pada prinsipnya, gadget bukanlah pengganti kasih sayang orang tua melainkan gadget diberikan untuk membantu orang tua dalam menstimulasi perkembangan anak,” kata Elisabet.

Dongeng Menumbuhkan Minat Baca Anak

Dongeng Menumbuhkan Minat Baca Anak. Kompas. 22 Agustus 2015.Hal.11

JAKARTA,KOMPAS– Dongeng dapat menumbuhkan minat baca pada anak-anak. Kebiasaan mendengarkan ceruta lewat cara yang menyenangkan juga dapat merangsang daya imajinasi dan kreativitas mereka.

“Minat baca anak Indonesia masih rendah karena pendekatan, akses, dan kesempatan anak pada bahan bacaan masih minim dan tak menarik. Mendongeng adalah pendekatan terbaik untuk mengajak anak membaca buku,” kata Manajer Program dan Pengembangan Yayasan Literasi Anak Lebah Indonesia Rismadhani Chaniago di Jakarta, Jumat (21/8).

Menurut dia, orangtua dapat menerapkan teknik mendongeng saat membacakan buku-buku cerita. Dengan metode bertutur, anak akan menangkap isi cerita dengan cara yang menyenangkan serta mampu menangkap isi cerita dengan cara yang menyenangkan serta mampu menangkap alur dengan baik. Orangtua juga dapat menyelipkan nyanyian dan permainan ketika bercerita.

“Anak-anak suka berimajinasi. Dengan teknik mendongeng, orangtua menyelipkan bahwa membaca itu menyenangkan sehingga menumbuhkan minat baca mereka,” katanya.

Selama ini, banyak orangtua yang menempatkan kegiatan membaca sebagai keharusan sehingga anak mudah jenuh. “Biasakan anak pada lingkungan buku dan kebiasaan membaca. Mereka akan tertarik,” katanya.

Konsep baru

Rismadhani menambahkan orangtua juga harus mempunyai konsep baru tentang dongeng. Mendongeng masih dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan butuh keterampilan khusus. Padahal, dongeng sebenarnya dapat dilakukan oleh semua orang.

Masyarakat juga kerap terjebak konsep bahwa dongeng harus berupa legenda. Padahal dongeng bisa berbentuk narasi, nyanyian, bahkan permainan.

“Orangtua tidak harus mengarang cerita, tetapi bisa dengan membacakan cerita dalam buku. Intinya, orangtua menanamkan nilai-nilai positif, seperti jujur, sopan, atau mencintai lingkungan melalui dongeng,” ujarnya.

Untuk itu, Taman Baca Anak Lebah yang bekerja sama dengan GlobalExhibit dan Fountain Education Center menggagas Festival Storytelling International bertajuk “The First Indonesia International Storytelling Festival 2015” pada 10-11 Oktober.

Presiden Direktur Gobal Exhibit Grace Sabandar menuturkan, tidak hanya mendongeng, anak juga dapat menikmati tarian dan musik dari berbagai daerah dan international.

Ada enam negara yang siap berpartisipasi, di antaranya Indonesia, India, Singapura, Norwegia, Hongaria, dan Tiongkok. “Setiap negara dapat menampilkan cerita rakyat dan tarian di daerahnya,” kata Grace.

Pada festival itu, ditargetkan ada 1.200 pengunjung dan 2.400 donasi buku yang akan didistribusikan ke perpustakaan daerah (B08)

Sumber : Kompas. 22 Agustus 2015

Dosen Berpotensi Tingkatkan Riset

Dosen Berpotensi Tingkatkan Riset. Kompas.5 Agustus 2015.Hal.12

PERGURUAN TINGGI

Dosen berpotensi tingkatkan riset

JAKARTA, KOMPAS – Ratusan ribu dosen yang tersebar di perguruan tinggi negeri dan swasta dapat menambah jumlah peneliti di lembaga-lembaga penelitian yang jumlahnya baru belasan ribu orang. Untuk mendorong penelitian oleh dosen, pemerintah meningkatkn sejumlah target, seperti jumlah riset, hak kekayaan intelektual, dan inovasi.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir sesuai pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Ilmu Pengetahuan di Jakarta, Selasa (4/8), mengatakan, dosen memiliki kewajiban meneliti. Targetnya, bukan sekadar publikasi ilmiah, melainkan juga bisa menghasilkan inovasi.

“Memang tidak semua dosen bisa menjadi innovator ataupun inventor. Kami menargetkan agar dari hasil riset di perguruan tinggi dan lembaga penelitian bisa menghasilkan inovasi sedikitnya 25 industri dalam bentuk badan usaha tahun 2015. Jumlah riset ditargetkan 12.000-14.000. Adapun untuk hak kekayaan intelektual ditargetkan sekitar 1.500,” ujar Nasir.

Menurut Nasir, pelibatan perguruan tinggi juga didorong dalam pembentukan 100 science and technology park  di tingkat provinsi. Dosen didorong mampu berkontribusi dalam riset, teknologi dan inovasi.

Minim

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani yang menjadi pembicara kunci dalam Rakornas Iptek 2015 mengatakan, peran ilmu pengetahuan dan teknologi penting dalam sektor produksi. Namun, jumlah peneliti dan perekayasa Indonesia masih minim. Pada 2013, terdata 11.234 orang di lembaga penelitian, sedangkan di perguruan tinggi 120.492 orang.

“Saya beri arahan agar Menristek dan Dikti fokus pada perguruan tinggi dan fokus peningkatan sumber daya manusia di Indonesia. Kita punya target peningkatan sumber daya manusia. Tiap provinsi yang punya universitas besar membuat desain besar kebutuhan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang,” kata Puan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesai Agung Pambudi mengatakan, dunia usaha memberi masukan bagi pemerintahh supaya ada kesesuaian dalam kebijakan pembangunan dengan riset. Apindo membuat “peta jalan” 2015-2019 soal pembangunan pertanian, energy, dan maritime yang kini jadi fokus pemerintah (ELN/YUN)

Sumber : Kompas, Rabu, 5 Agustus 2015

Kursus Gratis dalam Jaringan

Kursus Gratis dalam Jaringan. Kompas. 22 Agustus 2015.Hal.11

Kursus Gratis dalam Jaringan

Pendidikan Daring Berkembang

JAKARTA, KOMPAS- Pendidikan daring berkembang di Indonesia. Dengan kolaborasi perguruan tinggi dan perusahaan, ragam kursus dan kuliah daring gratis tersedia. Subyek, lokasi, waktu, dan partner belajar masyarakat pun tidak terbatas. Harapannya, tercipta demokratisasi cara belajar.

Salah  satu yang berkembang adalah layanan massive open online course (MOOC) yang berupa kumpulan kursus dan kuliah daring yang ditawarkan sejumlah lembaga dan dapat diakses melalui sebuah laman.

Indonesia X bertepatan dengan peringatan ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia meluncurkan layanan tersebut. MOOC dari IndonesiaX merupakan platform pendidikan gratis secara daring (online) yang dapat diikuti oleh siapa saja melalui situs www.indonesiax.co.id.

IndonesiaX bekerja sama dengan sejumlah universitas dan perusahaan terbaik yang saat ini terdiri dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, PT Bursa Efek Indonesia, Rumah Perubahan, dan PT Net Mediatama Televisi. Pada hari pertama peluncuran, IndonesiaX merilis program studi “Cyber Law: Rights and Obligations” dari PT Burs Efek Indonesia, dan “Change Management” dari Rumah Perubahan.

Dalam waktu dekat, IndonesiaX juga meluncurkan MOC engineering dan Institut Teknologi Bandung,”Introduction to Broadcasting” dari PT Net Mediatama Televisi, dan MOOC menarik lainnya. MOOC di IndonesiaX akan dibawakan dosen perguruan tinggi terbaik serta manajemen puncak dari perusahaan ternama.

 Demokratisasi

            Ketua Dewan Penasihat IndonesiaX Mohammad Nuh di Jakarta (21/8), mengatakan, Indonesia harus menyiapkan diri dan konten untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mulai terbangunnya infrastruktur TIK. Saat ini, ada dua persoalan dasar dalam pendidikan di Indonesia, yakni akses dan kualitas.

Persoalan terkait akses adalah terbatasnya ketersediaan layanan dan kemampuan masyarakat meraih layanan. Masalah kualitas mencakup keterbatasan tenaga pengajar, kurikulum, dan sarana prasaran dan tata kelola

Nuh mengatakan, kemajuan teknologi dan inovasi dalam dunia teknologi dan inovasi dalam dunia teknologi informasi telah menghadirkan fenomena ubiquitous, yaitu fenomena yang menunjukkan bahwa informasi apa saja, yang diperlukan dalam dunia pendidikan, dapat diperoleh dalam waktu instan, tanpa harus membangun sarana prasarana fisik sekolah.

“Kolaborasi akan membuat ketimpangan kualitas pendidikan bisa teratasi dengan berbagi. Pendidikan yang dikembangkan life skills dan materi akademik. Yang akademik, ke depan bisa transfer kredit,” kata Nuh.

Lucyanna Pandjaitan, CEO dan Presiden Direktur IndonesiaX, mengatakan, online course mendemokratisasi cara belajar karena siapa saja yang terhubung dengan internet dapat mengikuti MOOC tanpa harus mendaftarkan diri di universitas. “MOOC yang disediakan IndonesiaX tak terbatas pada topik akademis, tetapi juga berbagai keterampilan,” ujar Lucyanna.

Layanan dari UT

Secara terpisah, President of International Council for Open and Distance Education Tian Belawati mengatakan, pendidikan daring di Indonesia terus berkembang. “Dengan bertambahnya pihak yang menyediakan MOOC gratis, hal ini akan menguntungkan masyarakat karena punya pilihan untuk belajar online,” kata Tian yang juga Rektor Universitas Terbuka (UT).

Tian mencontohkan pengalaman UT yang menyelenggarakan MOOC yang terbuka bagi masyarakat tiap semester sejak tahun lalu. Peminatnya tinggi dan layanan dapat diakses lewat moocs.ut.ac.id. Bahkan, tahun ini, UT mengembangkan MOOC dalam Bahasa inggris.

“Pemerintah dan masyarkat sudah menyadari bahwa pendidikan online seperti MOOC ini akan menjadi wahana pendidikan masa depann. Tinggal sekarang dukungan untuk memperkuat infrastruktur TIK, “ kata Tian. (ELN)

Sumber: Kompas.-22-Agustus-2015.Hal_.11

Rasio Ideal Dosen-Mahasiswa

Rasio Ideal Dosen Mahasiswa. kompas. 22 Agustus 2015.Hal.7

Oleh JOHANES EKA PRIYATMA
Dalam beberapa kesempatan, salah satunya dengan para rector di Kopertis Wilayah V, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mnejanjikan memodifikasi ketentuan rasio dosen-mahasiswa.

Modifikasi akan dilakukan dengan memasukkan dosen tidak tetap atau kontrak selain dosen tetap ke dalam perhitungan rasio dosen-mahasiswa.alam beberapa kesempatan, salah satunya dengan para rector di Kopertis Wilayah V, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mnejanjikan memodifikasi ketentuan rasio dosen-mahasiswa.

Ini berita baik karena memang dosen kontrak senyatanya terlibat dalam proses Pendidikan. Namun, jika modifikasi ketentuan rasio hanya terkait dosen kontrak, tentu kurang esensial dalam peningkatan mutu program studi (prodi) karena statusnya yang tidak penuh waktu. Yang justru lebih penting memodifikasi besaran rasio dosen-mahasiswa 1/30 untuk prodi eksakta dan 1/45 untuk sosial menjadi lebih masuk akal serta mempertimbangkan aspek finansial penyelenggaraan prodi.

Sementara janji tersebut belum terwujud, tanggal 4 dan 24 uni 2015 pemerintah malah mengeluarkan dua surat edaran yang menakutkan pimpinan perguruan tinggi (PT). Surat edaran pertama berasal dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti), menyatakan bahwa PT akan dicap sebagai “tidak sehat” apabila memiliki prodi yang rasio dosen-mahasiswanya lebih kecil daripada rasio ketentuan di atas.

Surat edaran kedua dari Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama, yang menyatakan, bila rasio lebih kecil dari 1/100, pemerintah akan menonaktifkan prodi itu mulai 1 Agustus 2015. Program itu dilarang menerima mahasiswa baru. Cap “tak sehat” saja akan merusak reputasi prodi, apalagi bila sampai dapat status nonaktif.

Padahal, pendanaan utama dan terbesar prodi di PT swasta (PTS) bersumber dari mahasiswa. Sementara itu ada cukup banyak prodi yang tidak memenuhi rasio ini.

Surat Menristek-Dikti bahkan menyatakan, 1/30 dan 1/45 bukan rasio ideal, melainkan rasio toleransi hingga 50 persen. Artinya, rasio yang dibayangkan pemerintah idealnya 1/20 dan 1/30.

Angka 20, 30 dan 50 persen adalah angka-angka aneh karena tak jelas asal-usul dan kepentingannya. Angka 30, apalagi 20, akan menjadikan prodi sangat elistis, mahal, serta tidak peka terhadap mereka yang miskin. PTS menjadi semakin sulit di akses kebanyakan masyarakat.

Beberapa usulan

Lalu, penetapan toleransi 50 persen juga menggelikan karena mengabaikan makna toleransi yang berarti penyimpangan. Masak, penyimpangan sampai separuh? Berikut usulan saya tentang rasio ini agar lebih sesuai dengan keadaan nyata, khususnya di PTS.

Kegiatan utama prodi S-1 adalah pembelajaran sebagaimana tecermin dalam kurikulum yang hanya berisi 6 SKS skripsi plus 3 SKS kuliah kerja nyata dan kerja praktik dari total 144 SKS. Artinya, 90 persen lebih kegiatan prodi pembelajaran di kelas. Karena itu, besaran rasio dosen-mahasiswa sebaiknya ditetapkan, pertama-tama, demi terjaminnya kualitas pembelajaran lewat pembatasan jumlah mahasiswa di kelas kuliah.

Berdasarkan pengalaman saya mengajar lebih dari 25 tahun, pembelajaran dengan jumlah peserta 60 mahasiswa masih dapat erlangsung dengan baik dan nyaman. Didukung teknologi presentasi yang mudah digunakan, dosen dapat menyampaikan gagasannya dengan optimal. Bahkan ketika dosen menghendaki terjadi diskusi kelompok, kelas dapat dibagi 5-6 kelompok. Sementara itu, kegiatan praktik dapat dibantu oleh beberapa asisten sehingga mesti peserta sampai 60, setiap mahasiswa tetap dapat dilayani dengan baik.

Untuk program S-1 dengan beban minimal 144 SKS, prodi harus menawarkan mata kuliah minimal 144/2 = 72 SKS/semester. Karena beban kerja ideal dosen 12 SKS, setiap prodi S-1 diharuskan pemerintah punya minimal 72/12 = 6 dosen. Angka ini cukup ideal dan sudah jadi praktik baik selama ini. Dengan jumlah dosen 6 orang dan peserta kuliah sampai 60 mahasiswa, prodi S-1 maksimal punya 240 mahasiswa untuk empat angkatan.

Meski demikian, hanya angkatan terakhir (maksimal 60 mahasiswa) yang perlu dapat bimbingan skripsi. Setiap dosen dapat mendampingi 10 mahasiswa. Ini masih ideal bagi proses pembimbingan skripsi jenjang S-1. Dari sisi finansial, kalau setiap mahasiswa membayar Rp 5 Juta/semester, prodi dapat dana sekitar Rp 1,2 milliar/semester. Dana ini mencukupi untuk menggaji 6 dosen dengan layak, menyediakan fasilitas belajar yang baik, serta mungkin menyubsidi prodi lain yang kurang mahasiswanya. Hal ini dapat dengan mudah diverifikasi ke banyak PTS yang baik, di mana kelas kuliahnya rata-rata pasti berisi 60-an mahasiswa.

Oleh karena itu, saya mengusulkan rasio ideal dosen-mahasiswa adalah sekitar 1/60. Rasio ini tak perlu dibedakan antara program eksakta dan sosial karena program eksakta justru butuh dana lebih besar. Selanjutnya, dengan rasio ini, PTS diberi kesempatan untuk mencapainya dalam jangka waktu paling lambat satu tahun. Hal ini karena perekrutan dosen baru, dari pendaftaran sampai dengan memperoleh Nomor Induk Dosen Nasional, butuh paling cepat satu tahun. Sementara berdasarkan surat edaran tadi, prodi akan dapat peringatan setiap tiga bulan apabila belum dapat memenuhi rasio di atas.

Akhirnya, pemenuhan rasio dosen-mahasiswa sebaiknya tak dikaitkan dengan “kesehatannya” karena label tersebut multitafsir, menyesatkan, dan menegasikan status akreditasinya. Cukup dikatakan, misalnya, dari aspek rasio dosen-mahasiswa, prodi yang mempunyai rasio 1/60 dengan toleransi lebih kecil dari 10 persen sebagai “sangat baik”, 10-20 persen sebagai “baik”, dan lebih dari 20 persen sebagai “kurang baik”. Angka toleransi ini masih masuk akal secara kualitatif. Dengan memakai usulan ini, pemerintah mengambil posisi lebih positif terhadap PTS karena lebih memfasilitasi ketimbang membatasi peran dan kontribusi PTS bagi kemajuan bangsa.

JOHANES EKA PRIYATMA
Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Agustus 2015