Arsitektur yang Berdamai dengan Alam

Arsitektur-yang-Berdamai-dengan-Alam.-Kompas.19-Juni-2015.Hal.37

Perjalanan Eko Prawoto melanglang buana, termasuk menimba ilmu di Belanda dan mampir ke Inda, justru membulatkan tekadya untuk kembali ke kampung. Tiggal di sana dan menggali ilmu-ilmu arsitektur yang sejak dulu hidup dalam keseharian rakyat. Pilihan tersebut, seperti dilansir kompas (25/3/2006), didasari pemikiran bahwa tradisi pinggiran lebih memiliki energi kreatif.

       BAGI Eko, rumah kampung harus bisa menjadi wahana aktivitas warganya. Konsep ini jugalah yang menjadi dasar perancang rumahnya sendiri yang terletak di Yogyakarta. Secara keseluruhan, rumah ini terkesan rustic. Dinding-dinding bata dibiarkan tanpa plesteran. Sebagian kusen dan pintu di buat dari material bekas. Eko mebubuhkan pula spontanitas jenaka pada rumahnya, di pintu utama dekat teras, Eko menambahkan pahatan tokek.

Dalam karya-karya bangunan maupun instalasi rancangan Eko, atmosfer kampung yang di gabungkannya dengan pengetahuan moderen dari tradisional itu pun muncul. Di Galeri Nasrun, misalnya, rangkaian bambu, kayu, dan bata berpadu apik” dengan cahaya matahari dengan lingkungan sekitarnya. Bada Project menyajikan bangunan yang di inspirasi dari bentuk joglo dengan apik. Detail susunan batu bata membuatnya makin cantik.

Dalam buku Arsitektur untuk Kemanusiaan (2005), Eko mengemukakan pandangannya. Bagi Eko, kampung itu terhormat karena sangat inspiratif. Ia sering berkeliling dari kampung satu ke kampung lain untuk mencari ide-ide. Arsitektur kampung itu sangat dekat dengan kehidupan dan bisa menjawab beragam persoalan. Di sana, ditemukan pula kehagatan, relasi, kreativitas, dan kejujuran hubungan antarmanusia.

Rekonsiliasi

       “Saya punya simpati dengan empati dalam pada masyarakat kecil. Pada yang di lipakan, yang terpinggirkan, yang di remehkan, termasuk dalam hal ini tradisi dan alam. Saya kira panggilan zaman kita sekarang adalah untuk mulai rekonsiliasi dengan alam,” tutur Eko di rumahnnya, Sabtu (30/5).

Saat ini dilihatnya banyak arsitektur yang terlalu berjarak dengan situs yang menaunginya. Material-material diimpor, desain pun merajuk pada sesuatu yang jauh, yang tidak sesuai dengan kondisi lokal. Ia membandingkan bagai mana tradisi kita sudah belajar mengakrabi alam.

“Dalam arsitektur, kita mesti belajar mengenai material, prinsip-prinsip konstruksinya, bagaimana desain yang dulu merespons kondisi alam dan iklim serta menghidupi nilai-nilai di dalamnya. Dengan cara berpikir modern, kita cenderung menindas alam, berpikir pragmatis. Kita tidak mau repot, hanya mengambil sebagian tanggung jawab kita,” ujar Eko.

Eko mencotohkan respons arsitektur terhadap gempa yang sejak lama disadari leluhur kita. Di indonesia, gempa adalah sebuah keniscayaan. Pengetahuan membangun yang utuh, seperti yang di wariskan oleh leluhur kita, menyadari benar hal itu. Mereka menyikapi gempa dengan tidak melawan alam, tetapi berdamai dengannya. Konstruksinya fleksibel, bisa berayun. Sambungan-sambungannya pun lentur. Ia membuat analogi, “Di dunia beladiri, ada karate dan aikido. Arsitektur tradisional munkin seperti aikido.”

Eko yang lebih sering menggunakan material lokal dalam karya-karyanya juga ingin membangun kesadaran oang-orang, material lokal kita begitu kaya dan kuat. “Sebagian bangsa indonesia, kita merupakan bangsa yang besar dengan kebudayaan yang begitu banyak dan bervariasi. Dengan modal budaya seperti itu, harusnya kita bertindak lebih sebagai produsen, bukan konsumen. Kalau kita menengok tradisi, sebenarnya mereka bisa melengkapi sendiri apa-apa yang mereka butuhkan. Kalau kita bicara soal kemerdekaan, itu salah satu pointnya” ujar Eko.

Penggunaan material lokal dalam arsitektur ini, dalam konteks yang lebih luas, terkait dengan kesinambunan dan ketahanan kita sebagai bangsa. Kemauan kita menggunakan material lokal nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Yang lebih penting, menjaga tradisi ketukangan (local skill) tetap hidup. Satu-satunya cara adalah terus mempraktikkannya.

Kecenderungan arsitektur modern yang lain kita mencoba mengatur alam. “Suhu yang tropis kita coba ingkari dengan mengubah temperatur menjadi 16 derajat. Personalnya, apakah 29 derajat itu  unbearable? Membiarkan tubuh kita dalam suhu konstan juga membuat badan semakin lemah,” kata Eko.

Eko melihat, alam menyediakan sarana alami bagi kita untuk melatih ketahanan tubuh, menyeimbangkan otak, dan melatih reflek. Dalam kacamata yang lebih makro, alam adalah tempat beajar dan kita semestinya lebih selaras lagi dengan alam, termasuk dalam perkara arsitektur.

“Situs tidak pernah terisolasi. Tanah punya kaitan dengan masa lalu dan masa depan, maka saya melihat arstektur selalu nonpermanent. Kita tidak boleh sombong dan mengklaim eksistensi kita yang paling penting. Kita cuma bertamu, saya mencoba mendekati arsitektur dengan cara seperti itu. Saya juga mencoba mendamaikan yang moderen dengan yang tradisional.” Jelas Eko. Ia pun mengenyam realita yang di hadapinya di lapangan dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang di milikinya.

“Arsitektur kerap meminta banyak dari alam, termasuk meminta perhatian dengan keinginan untuk membuat sesutu yang tampak hebat dan menonjol. Saya pikir ini saatnya memberi. Memberi pada sekita, memberi oksigen, memberi hal baik,” tutup Eko.[NOV]

 

 

UC Lib-Collect

Kompas. 19 Juni 2015.Hal 37